Jumat, 03 April 2009

SUASANA MAKKAH DAN MADINAH

Haromain adalah dua kota suci yang selalu di kunjungi oleh umat Islam didunia, setiap saat tiada henti. Kalau di Makkah, tampak dari jama’ah yang tiada henti thawaf sepanjang masa kecuali waktu sholat. Sedangkan di Madinah, raudhah merupakan tempat mustajabah yang selalu diperebutkan jama’ah, juga sepanjang tahun. Beberapa hadits yang menggambarkan kesucian dan kelebihan kedua kota tersebut antara lain : 

• ”Sesungguhnya negeri ini (Makkah) dijadikan Allah tanah suci di hari Dia menciptakan langit dan bumi. Sebab itu, dia tanah suci karena kehormatan Allah, sampai hari kiamat. Sesungguhnya tidak halal berperang di sini bagi siapapun sebelum aku dan tidak halal berperang bagiku melainkan sesaat di waktu siang. Dia tanah suci karena kehormatan Allah sampai hari kiamat. Tidak boleh dipotong kayu berdurinya, tidak boleh dikejar binatang buruannya, tidak boleh diambil barang yang hilang kecuali oleh orang yang hendak memberitahukan (kepada umum) dan tidak boleh dipotong rumputnya” (HR Muslim)

• ”Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah tanah suci dan mendo’akan penduduknya (beroleh rezeki), sedang aku menjadikan Madinah tanah suci sebagaimana Ibrahim menjadikan Makkah tanah suci dan aku mendo’akan berkenaan dengan gantang dan cupaknya (hasil bumi) Madinah dua kali lipat dari apa yang dido’akan oleh Ibrahim untuk penduduk Makkah” (HR Muslim)

• ”Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah tanah suci dan aku menjadikan Madinah tanah suci antara tepinya. Tidak dipotong kayu berdurinya dan tidak diburu binatang buruannya” (HR Muslim)

• ”Ya Allah, semoga Engkau menjadikan keberkahan kota Madinah dua kali lipat dari keberkahan kota Makkah” ( HR Bukhari Muslim)

• ”Madinah adalah kubah Islam dan jantung keimanan. Di sanalah ketentuan halal dan haram diturunkan” (HR Ath-Thabarani dan Al-Mundziri)

• ”Sholat di masjidku ini lebih utama seribu kali dibanding shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram dan sholat di masjidil haram lebih utama seratus ribu kali shalat daripada masjid lainnya (HR Ahmad, Ibnu Huzaimah dan Hakim)

Namun kedua kota tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap suasana kesehariannya. Salah satu bentuk ritual ibadah yang dilakukan di Makkah adalah thawaf mengelilingi ka’bah. Dalam kegiatan tersebut selama ini tidak bisa dilakukan pemisahan antara jama’ah laki-laki dengan perempuan. Kegiatan umroh juga merupakan ibadah sunnah yang membuat masjidil haram ramai dengan jama’ah yang lalu lalang didalamnya. Belum lagi di dalam masjidil haram banyak lokasi yang mustajabah, diantaranya hajar aswad, maqam ibrahim, hijir ismail ataupun multazam. Dan pada saat musim haji, seluruh jama’ah haji yang berjumlah 2-3 juta orang akan ’tumplek blek’ secara bersamaan berada di kota Makkah. Hotel penuh, kamar mandi antri, jalanan dan masjid penuh sesak dengan manusia yang hilir mudik. Di tambah lagi dengan sarana transportasi yang kurang bersahabat, dengan klakson yang sering kali mengagetkan kita. Suasana seperti itu menjadikan kota Makkah menjadi kurang nyaman, terutama di musim haji.

Sebenarnya Madinah bukan merupakan kota yang wajib dikunjungi dalam prosesi ibadah haji. Mengunjungi dan sholat di masjid nabawy hanya ’sunnah’ saja sifatnya. Dan tidak ada ibadah ritual yang lain kecuali sholat di masjid dengan waktu yang tidak mengikat. Setiap jama’ah haji biasanya diberi kesempatan untuk tinggal di Madinah selama 8 hari (agar bisa melakukan sholat arba’in) dengan cara bergiliran. Sehingga walaupun seluruh jama’ah haji seluruh dunia mampir ke Madinah tetapi waktunya tidak bersamaan. Jumlah jama’ah haji yang menginap di Madinah secara bersamaan paling berkisar antara 200 – 300 ribu orang. Udara kota Madinah yang lebih dingin, jumlah jama’ah yang lebih sedikit dan sedikitnya dinamika ibadah membuat suasana terlihat lebih tenang. Kekhusyu’anpun lebih terasa dalam beribadah di masjid nabawy.

Kota Makkah merupakan sebuah lembah yang dikelilingi deretan bukit, dengan ka’bah sebagai pusat yang paling rendah. Demikian juga kota Madinah dan jalan sepanjang Makkah – Madinah banyak berderet bukit berada di kanan kirinya. Tapi bukit tersebut tidak terlalu tinggi, berkisar mulai dari 10 hingga 400an meter dan tanpa tumbuhan sama sekali. Perbukitan tersebut merupakan perbukitan bebatuan dengan warna coklat kehitaman sebagai dampak dari panas matahari yang begitu terik. Jadi jangan membayangkan ada gunung yang menjulang tinggi seperti gunung arjuna yang tampak hijau dengan hutan disekelilingnya. Walaupun namanya jabal tsur, sebagai gunung yang tertinggi di kota Makkah, tingginya hanya sekitar 450 meter dari kaki bukit.

Pemerintah Saudi Arabia berusaha sedemikan rupa agar di tengah-tengah kota terdapat nuansa kehijauan. Upaya tersebut tampak dengan keberadaan beberapa taman hijau dengan bunga berwarna-warni di perempatan jalan dan sepanjang jalan utama. Dan yang paling menarik, pada setiap pohon perdu yang ditanam di sepanjang jalan, selalu didampingi 1 buah kran yang secara periodik mengalirkan air. 

Mata air zam-zam merupakan salah satu keajaiban dunia yang berada di kota Makkah. Sumber air yang tidak pernah habis ini dikelola sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan jama’ah haji. Baik yang dikonsumsi selama di tanah suci maupun sebagai oleh-oleh bagi keluarga di tanah air. Di masjidil haram dan masjid nabawy, air zam-zam disediakan dalam galon-galon plastik yang ditempatkan secara merata di antara tiang masjid yang jumlahnya sangat banyak. Di sebelah galon plastik tersebut disediakan gelas plastik putih yang memudahkan jama’ah untuk meminumnya secara langsung. Secara umum air zam-zam tersebut sudah diberi es batu agar lebih terasa dingin dan segar. Namun juga disediakan air zam-zam tanpa es batu, yang tong plastiknya ditandai dengan tulisan zam-zam ghoiru mubarrod (zam-zam tanpa pendingin). Untuk memenuhi kebutuhan air zam-zam di masjid nabawy, pengangkutannya dilakukan dengan tangki besar sesuai dengan kapasitas jama’ah yang sedang berkunjung ke sana. Ketika saya tanya pada mahasiswa yang sedang belajar di Madinah, kok nggak dibikin saluran air zam-zam langsung dari sumbernya ke masjid nabawy? Mengingat kebutuhannya yang cukup banyak dan rutin. Mereka menjawab saluran yang panjang dan melalui gurun pasir yang panas akan merusak kualitas air zam-zam. Bahkan tangki airpun perlu pelapis yang lebih tebal dan tahan panas untuk menjaga kualitas air zam-zam. Sedangkan untuk kebutuhan air bagi hotel, perumahan penduduk dan kamar mandi umum dipenuhi dari air laut yang sudah ditawarkan.

Kondisi tempat penginapan jama’ah haji sangat beragam, baik jarak maupun fasilitasnya. Saya di Makkah menempati hotel berlantai 14 dengan fasilitas lift modern 6 buah dengan jarak tempuh jalan kaki kurang lebih 15-20 menit dari masjidil haram. Sebenarnya jaraknya kurang dari 1 km, tetapi karena daerahnya agak tinggi sehingga jalannya lama. Ada sebagian jama’ah yang suka naik kendaraan umum dengan tarif 1 riyal, tetapi pada H+5 naik menjadi 2 riyal. Setiap kamar diisi antara 3 sd 8 orang, tergantung besar kecilnya ukuran kamar. Adapun fasilitas kamarnya adalah kamar mandi, AC, TV, tempat tidur dan selimut sejumlah isi kamar, 1 buah lemari pakaian serta 1 buah lemari es. Kondisi tersebut tergolong sangat bagus sehingga kita tidak mendapatkan uang pengembalian penginapan. Ada jama’ah yang mendapatkan penginapan yang jaraknya sekitar 6 km dari masjidil haram, dengan lift yang sering rusak dan berbagai keterbatasan lainnya sehingga mendapatkan uang pengembalian sebesar 650 riyal. 

Sementara di Madinah, saya mendapatkan penginapan yang agak jauh dengan fasilitas yang kurang memadai. Kamar yang kami tempati berada di lantai 4 diisi dengan 13 orang, dengan kondisi lift yang suka macet. Dan yang paling fatal, kamar mandinya berdindingkan kaca padahal posisinya paling luar dan menghadap jalan raya. Bisa dibayangkan kalau kita mandi, maka seluruh aktivitas kita akan terlihat secara jelas oleh orang yang berada di jalan atau hotel yang bersebelahan. Karena kebutuhan yang sangat mendesak, maka salah satu dari kami berinisiatif menutup kaca tersebut dengan kain panjang. Dengan kondisi yang kurang memenuhi standar tersebut, kami mendapatkan uang kembalian sebesar 100 riyal. 

Mengenai sarana transportasi, sebenarnya ketersediaannya sangat banyak dan beragam, tergantung kita mau menggunakan sesuai selera kita. Mulai dari sedan yang mewah hingga mobil butut, dan hampir semuanya berfungsi seperti taxi gelap. Artinya tidak bisa kita bedakan antara mobil pribadi dengan taxi karena tidak ada merk usahanya serta tidak ada argometernya. Jadi semuanya serba tawar menawar. Demikian juga mobil angkutan umum (semacam L-300) dan bis, semua tidak punya jalur khusus. Jadi semua angkutan tergantung kepentingan yang penumpangnya. Yang jelas perilaku pengemudinya dalam menggunakan sarana jalan kurang tertib sehingga sering terjadi kemacetan dan bunyi klakson yang memekakkan telinga karena pengemudi mobil yang terdepan sedang bercanda atau tawar menawar dengan calon penumpang. Namun yang patut kita acungkan jempol adalah ketegasan petugas atas ketertiban parkir. Tidak ada mobil yang parkir di jalan lebih dari 5-10 menit. Kalau ada mobil yang coba-coba melanggar aturan tersebut, maka dengan segera datang mobil derek yang langsung membawa mobil tersebut tanpa toleransi.

Demikian sekilas gambaran tentang kondisi di tanah suci, semoga yang sedikit ini bisa membayangkan persiapan yang harus kita lakukan.




DETIK-DETIK PEMBERANGKATAN HINGGA BERTEMU KA’BAH

Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya tibalah hari pemberangkatan ke tanah suci. Senin, 11 Desember 2006 pukul 12.30 WIB dari taman krida budaya, jama’ah kloter 45 dan 46 dari kota Malang di lepas oleh Walikota Malang. Ribuan orang dengan suka rela berkumpul di bawah terik matahari ‘hanya’ untuk mengantar kepergian sang calon haji. Bahkan saat bis mulai berjalan, isak tangis keluarga yang ditinggalkan seolah tak terbendung. Di antara pengantar, ada sebagian yang bukan keluarga dan kenalan dari jama’ah haji. Sebagian dari mereka adalah para haji yang ingin mengenang kembali keberangkatan mereka. Dan sebagian yang lain adalah orang yang sangat berhasrat segera menunaikan haji (baik yang sudah mendaftar atau belum). Mereka semua larut dalam suasana haru melepas kepergian sang ‘calon haji’, sambil membayangkan kalau diri mereka yang berangkat ke tanah suci.

Setelah sukses melewati jalur lumpur LAPINDO yang biasanya macet, rombongan kami tiba di asrama haji sukolilo - Surabaya pukul 14.30 WIB. Kami langsung berkumpul di ruang mina untuk pembagian kartu kesehatan dan pengambilan sidik jari (jempol kanan dan kiri dengan scan computerized). Selanjutnya istirahat selama sehari semalam di asrama haji sebagai masa karantina. Saya ditempatkan di kamar 313 di gedung F1, yang berisi 6 orang. Selama di asrama haji kegiatan kami adalah sholat berjama’ah di masjid, makan diruangan /hall F, pertemuan ketua regu (karu) dan ketua rombongan (karom) untuk terima buku petunjuk, gelang tanda jama’ah haji, masker dan honor karu serta karom.

Setiap hari selama masa haji, ada 4 kloter jama’ah calon haji yang keluar masuk asrama haji. Untuk kloter kami (45) prosesi pemberangkatan dilakukan pada hari Selasa 12 Desember 2006 pukul 13.30 WIB. Setelah kloter 44 berangkat, kami diminta kumpul di ruangan Bir Ali (lantai 2). Setelah pengarahan akhir, dilakukan pembagian passpor, boarding pass dan living cost selama di tanah suci. Bagi jama’ah yang sudah selesai, segera keluar ruangan menuju bis dengan terlebih dulu melalui pemeriksaan dengan metal detector sebagaimana di bandara. Setelah menunggu jama’ah lain siap maka seluruh kloter 45 berangkat dari sukolilo jam 15.20 WIB. Perjalanan ke bandara cukup lancar karena memang dikawal polisi. Kami tiba di juanda yang baru pindah tersebut sekitar pukul 16.00. Sekitar pukul 17.00 WIB jama’ah kloter 45 dipersilahkan memasuki pesawat, tanpa pemeriksaan ulang. 

Tepat pukul 18.05 WIB pesawat take off dari lapangan udara juanda yang baru. Seluruh jama’ah calon haji yang berangkat dari embarkase surabaya menumpang pesawat saudi arabia airline yang berkapasitas 450 orang. Di dalam pesawat, kita sudah mulai berinteraksi dengan orang asing karena pramugarinya bukan orang Indonesia. Selama hampir 10 jam di dalam pesawat, kita mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang makan minum cukup baik. Setelah makan malam sekitar jam 20.00 WIB, sebagian besar jama’ah calon haji mulai tidur. Sekitar pukul 02.00 WIB, diumumkan bahwa pesawat akan melewati batas miqot 1 jam lagi sehingga jama’ah yang mengambil miqot di pesawat segera mengenakan pakaian ihrom. Dari balik jendela, kita bisa saksikan keindahan malam kota Jeddah yang terlihat dari gemerlapan lampu jalan yang tertata rapi. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara king abdul aziz tepat pukul 04.00 WIB atau 12.00 waktu saudi arabia (selisih 4 jam). Sebagaimana biasa kita dijemput bis dan langsung masuk ruang imigrasi. Pemeriksaan administrasi cukup rapi, mulai buku kesehatan (walaupun tdk semua diperiksa) sampai passpor. Setelah passpor selesai, kita mencari tas koper masing-masing untuk selanjutnya diangkut oleh truck menuju hotel dimana kita menginap. 

Di pelataran bandara King Abdul Aziz kita istirahat dan mengenakan pakaian ihrom (bagi yang mengambil miqot di Jeddah). Pelataran tersebut sangat luas dengan beratapkan tenda yang permanent. Kebersihan lantai juga sangat diperhatikan sehingga kita tidak risih ‘ngglempo’. Kamar mandi umum di Saudi Arabia sangat simple, yaitu sebuah ruangan 1X2 meter dengan fasilitas closet (tepatnya lubang secukupnya) dan selang yang nyambung ke kran air. Kita juga mendapat jatah makanan dan buah gratis dari pemerintah Saudi Arabia. 

Sekitar pukul 02.00 dilakukan persiapan ke makkah, dimulai dengan berbaris berdasarkan rombongan dengan dipandu petugas yang membawa nomor rombongan (kayak kontingan PON). Masing-masing rombongan menuju bis yang sudah disediakan. Saat itu passpor kita dikumpulkan dan diserahkan kepada sopir tersebut. Jadi sopir tersebut berfungsi juga sebagai koordinator pengumpulan passpor. Makanya sopir tersebut berulang kali menghitung jumlah jama’ah dan mencocokkannya dengan jumlah passpor yang dikumpulkkannya. Kita akan mendapatkan kembali passpor tersebut menjelang pulang di Madinah. Setelah semua dinyatakan beres, sekitar pukul 03.00 akhirnya bis mulai berjalan dan talbiahpun dikumandangkan yang dipimpin oleh ketua rombongan. Di tengah perjalanan sempat mampir ke sebuah tempat mirip terminal yang ternyata pusat manajemen haji. Di sana yang kita ketahui hanya menerima 1 botol kecil aqua saja (mungkin sopir laporan jumlah jama’ah haji). Ketika memasuki gerbang kota makkah (ditandai dengan monumen Al Qur’an raksasa), kita juga berdo’a bersama sesuai tuntunan manasik. 

Sekitar pukul 05.30 kita tiba dengan selamat di maktab 29 hotel bernomor 503 Hafair. Pada saat itu menjelang subuh dan terlihat berduyun-duyun ribuan jama’ah menuju baitullah untuk tunaikan sholat subuh. Sebuah pemandangan yang mirip dengan suasana persiapan sholat ied di tanah air. Hotel Mawaddah, tempat kita menginap, berjarak sekitar 800 meter dari Masjidil Haram dengan kondisi jalan yang naik turun. Kami belum bisa sholat subuh berjama’ah di Masjidil Haram karena harus selesaikan persoalan teknis berkaitan dengan kamar, koper dan seterusnya. Setelah sholat subuh berjama’ah di hotel dan menyelesaikan pembagian kamar, kita ke lantai dasar untuk ambil koper yang masih menumpuk. Sebagian jama’ah mulai melakukan aktivitas bersih2 diri, istirahat dan sarapan dengan bekal seadanya.

Pukul 08.15 kita kumpul di ruang lobby untuk persiapan umroh. Dari maktab / hotel kita jalan kaki bareng ke Masjidil Haram yang memakan waktu kurang lebih 20 menit. SubhanAllah, akhirnya kita akan segera menjumpai baitullah, sesuatu yang selalu menjadi cita-cita bagi setiap muslim. Kita masuk lewat pintu king fahd dengan kode nomor 79 (pintu yg berhadapan dg dar at-tauhid hotel). Sebagaimana manasik yang telah disampaikan, kita berhenti sebentar untuk berdo’a ketika mau masuk pintu Masjidil Haram. Begitu juga ketika tiba di pelataran ka’bah kita dibimbing untuk mengucapkan do’a melihat ka’bah. Melihat Ka’bah secara langsung untuk pertama kalinya, sempat termangu beberapa saat, sambil merenung betapa kotak kubus hitam tersebut punya daya magnet yang mampu mengundang jutaan manusia, bi idznillah tentunya. Kalau dilihat dari sisi fisiknya semata, rasanya tidak ada sesuatu yang sangat istimewa. Tapi demikianlah kehendak Allah SWT, yang menjadikan bangunan pertama di dunia ini sebagai simbol persatuan umat. Terlihat lautan manusia berputar membentuk arus mengelilingi ka’bah. 

Selanjutnya kami melakukan persiapan untuk thawaf. Ketua rombongan menyampaikan arahan untuk koordinasi sekaligus antisipasi kalau ada anggota rombongan yang terpisah. Kita memulai thawaf dari rukun hajar aswad atau sudut yang sejajar dengan lampu hijau sebagai tanda untuk memudahkan jama’ah yang sedang thawaf. Thawaf kita awali dengan ucapan “Bismillahi Wallahu Akbar” dalam posisi tangan diarahkan pada hajar aswad dan dikecup ke bibir. Seterusnya kami berjalan mengikuti arus jama’ah yang sedang thawaf dengan arah yang berlawanan dengan arah jarum jam. Salah satu ketentuan dalam thawaf adalah kita harus senantiasa 

dalam keadaan berwudhu/suci dan posisi pundak kiri mengarah ke arah ka’abh. Selama thawaf kita membaca do’a, baik secara berjama’ah ataupun sendiri-sendiri. Saya sendiri memakai alat bantu berupa audio hajj, yang menuntun berbagai do’a selama ibadah haji secara digital. Kita tinggal menekan tombol sesuai dengan menu do’a yang tersedia, maka akan segera diperdengarkan do’a tersebut berikut terjemahannya melalui earphone yang terpasang di telinga kita. Alat tersebut cukup membantu agar kita lebih khusyu’ dalam ibadah dan tidak mengganggu jama’ah lain. Karena pada saat thawaf dan sa’i ada beberapa rombongan yang dengan suara keras melakukan do’a bersama. Pada satu sisi mereka terlihat kompak, tapi pada sisi yang lain memang cukup mengganggu bagi kekhuyu’an jama’ah lainnya.

Setelah menyelesaikan thawaf sebanyak 7 putaran, kami semua menepi untuk melakukan sholat 2 roka’at di belakang maqom ibrahim. Saat berdo’a sesudah sholat, mata terasa hangat dan air matapun mengalir tidak terbendung. Tapi hal tersebut tidak berlangsung lama karena asykar sudah mengusir kami agar tidak terlalu lama dan berganti dengan jama’ah lain yang ingin sholat juga. Kamipun pergi ke multazam untuk berdo’a (multazam sebenarnya bagian dinding ka’bah antara hajar aswad dengan pintu ka’bah, tapi diperluas dengan area yg sejajar dengan bagian tersebut). Kami berdua berdo’a persis dibawah lampu hijau yang merupakan area multazam dan tangispun kembali tak terbendung mengiringi do’a2 dan harapan kami.

Kegiatan selanjutnya kita siap2 melaksanakan sa’i dengan terlebih dahulu minum air zam-zam. Lokasi mata air zam-zam sebenarnya berada di pelataran ka’bah. Dulu orang masih bisa berkunjung ke mata air tersebut, tapi saat ini semua sudah ditutup untuk perluasan pelataran ka’bah Selanjutnya kami langsung menuju bukit shofa (+ 50 m) untuk memulai sa’i. Kita berdo’a bersama sesuai tuntunan manasik. Sekali lagi tampak ribuan manusia memadati 2 sisi jarak antara bukit shofa dan marwah. Kitapun segera tenggelam mengikuti arus lautan jama’ah yang sedang melaksanakan sa’i tersebut. Dan sebagaimana thawaf, kitapun mulai terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Setelah 7 putaran yang berakhir di bukit marwah, kita lantas berdo’a dan mengakhiri proses umroh dengan tahallul (memotong beberapa helai rambut). 

Saat itu waktu menunjukkan pukul 11.30 dan kita sekalian menunggu sholat dzuhur. Setelah sholat dzuhur, kita langsung pulang ke maktab untuk istirahat, makan siang dan membenahi kamar masing-masing. Menjelang waktu maghrib kita kembali ke masjidil haram untuk tunaikan sholat maghrib dan isya. Demikianlah hari-hari selanjutnya kita isi dengan memperbanyak ibadah di Masjidil Haram.







PERJUANGAN MENCIUM HAJAR ASWAD

Hajar aswad adalah batu hitam yang ditempelkan di salah satu sudut ka’bah. Konon kabarnya hajar aswad dan maqom ibrahim merupakan 2 benda yang berasal dari syurga. Sehingga tidaklah mengherankan apabila kedua benda tersebut (terutama hajar aswad) senantiasa menjadi rebutan jama’ah haji dan umroh. 

Mencium hajar aswad merupakan sunnah Rasulullah SAW yaitu sebuah tindakan yang pernah dilakukan Rasulullah SAW sehingga kita sebagai umatnya hendaknya mengikuti sunnah beliau. Dalam menyikapi sunnah mencium hajar aswad tersebut, sahabat Umar bin Khaththab yang dikenal sangat rasional, dihadapan hajar aswad beliau berkata, ”Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW mencium kamu (hajar aswad) maka akupun tidak mencium kamu”. Artinya dalam konteks aqidah sesungguhnya batu tersebut tidak mempunyai nilai magis ataupun kelebihan di banding batu yang lain. Tetapi karena Rasulullah SAW mencium batu tersebut (tentunya dengan petunjuk Allah SWT), maka kita pun berusaha agar dapat melakukannya pula.

Sejak awal masuk masjidil haram, saya sering naik ke lantai 2 dan 3 sambil memperhatikan dinamika jama’ah yang sedang thawaf, masuk hijir ismail maupun rebutan mencium hajar aswad dan berdo’a di multazam. Dan yang paling padat memang berpusat pada jama’ah yang mau mencium hajar aswad. Tidak hanya padat tapi juga mengalir dari berbagai arah, sehingga proses antrian tidak sesuai dengan arah jama’ah yang sedang thawaf. Mereka semua berusaha mendekati hajar aswad dengan berbagai caranya masing-masing. Kegiatan saling mendorong dari berbagai arah membuat arus jama’ah bertambah macet dan padat. Ketika menikmati pemandangan arus padat tersebut dari lantai 3, saya sempat berfikir mungkinkah kita bisa mengikuti sunnah Rasulullah SAW dalam mencium hajar aswad.

Menyikapi fenomena rebutan hajar aswad yang semakin padat tersebut, secara umum jama’ah haji terbagi dalam 2 golongan yang berseberangan. Yang pertama beranggapan bahwa mencium hajar aswad itu hanyalah bersifat sunnah saja, bukan termasuk rukun dalam ibadah haji sehingga tidak menciumpun tidak ada masalah. Golongan yang pertama ini sesungguhnya masih bisa bagi lagi dalam 2 klasifikasi yaitu orang yang pada dasarnya malas dan takut resiko sehingga mereka mempunyai pikiran ngapain susah2 bahkan mungkin bisa celaka hanya untuk mengejar sesuatu yang bersifat sunnah. Sedangkan yang lain sebenarnya punya keinginan yang kuat untuk bisa mencium hajar karena sunnah merupakan sebuah keutamaan yang perlu dikerjakan, namun mengingat padatnya arus jama’ah yang ada dan kemungkinan terjadi kecelakaan baik terhadap dirinya maupun pada orang lain maka mereka memilih tidak ikut kompetisi. Dengan demikian jumlah jama’ah yang berebut jadi berkurang dan mereka merasa mengalah dan memberikan kesempatan kepada orang lain.

Sedangkan golongan yang kedua adalah orang yang merasa harus bisa (mewajibkan dirinya) untuk mencium hajar aswad walaupun itu hanya sunnah sifatnya. Bahkan sebagian diantara mereka ’menghalalkan segala cara’ demi hajar aswad. Mulai dari mendesak, mendorong, menyikut bahkan membayar orang agar dia dilindungi hingga sampai dan bisa mencium hajar aswad.

Sampai hari ke-27 di kota Makkah (sudah melewati proses haji) saya belum pernah mencium hajar aswad. Saya masih bimbang diantara sikap 2 golongan sebagaimana yang saya sampaikan diatas. Akhirnya pada hari ke-28 saya mengambil keputusan untuk mengambil jalan tengah diantara 2 titik ekstrem tersebut. Saya sangat ingin menjalankan sunnah Rasulullah SAW tersebut dan saya harus pernah berusaha, adapun hasilnya Allah SWT yang akan tentukan apakah saya berhasil atau tidak. Kalau saya tidak pernah mencoba sama sekali, saya takut termasuk menjadi golongan orang yang malas atau takut resiko. Kalau saya tidak pernah mencoba, lalu dimana letak kesungguhan saya dalam menjalankan sunnah? 

Begitulah akhirnya pada malam ke-28 (tanggal 9 Januari 2007) jam 01.00 dini hari seorang diri saya berangkat menuju ka’bah dengan niat mengikuti sunnah Rasulullah SAW yaitu mencium hajar aswad. Saya hanya memakai celana dan kaos T-shirt saja tanpa gelang identitas, jam tangan maupun HP agar saat masuk arus yang padat tidak terlalu banyak gangguan. Semakin mendekat dengan ka’bah ada perasaan yang berbeda dengan biasanya, jantungpun semakin berdetak lebih keras. Ketika sudah masuk dalam pusaran jama’ah yang sedang thawaf, saya coba mantapkan hati untuk bisa khusyu’. Saya senantiasa berdo’a ”yashiru wa laa tu’ashshiru”, Ya Allah mudahkanlah maksud hamba untuk mengikuti sunnah Rasul-Mu, janganlah Engkau persulit. Ya Allah, kondisi saat ini hajar aswad menjadi rebutan orang banyak, tugas hamba hanya berusaha, oleh karena itu semoga dalam proses menuju ke sana janganlah hamba menyakiti orang lain yang punya tujuan yang sama dan semoga hamba tidak tersakiti juga oleh orang lain tesebut”. Do’a tersebut saya baca secara berulang sambil berputar mengikuti arus jama’ah yang sedang thawaf. 

Pada putaran pertama saya masih berjarak sekitar 3 meter dari ka’bah sehingga saya berputar lagi sambil mencari celah menuju arah hajar aswad. Pada putaran kedua, tiba-tiba ada celah yang cukup longgar ke arah hijir ismail. Saat itu langsung muncul niat untuk mampir ke hijir ismail dulu. Sampai di dalam hijir ismail kondisi cukup padat sehingga tidak memungkinkan untuk sholat sunnah. Kemudian ada jama’ah yang berada dalam area yang cukup bagi dia untuk sholat (walaupun tidak leluasa), tapi dia butuh lindungan agar tidak terdesak jama’ah yang baru masuk. Akhirnya beberapa orang di sekitarnya (termasuk saya) berusaha membentuk formasi lingkaran sebagai pelindung agar dia bisa sholat dengan tenang. Pada saat itu saya bertemu dengan pak Imam Syafi’i (teman se-KBIH) yang juga dalam posisi melindungi jama’ah yang lain. Karena beliau sudah selesai sholat dan disebelahnya ada tempat yang cukup untuk sholat, maka beliau mempersilahkan saya untuk segera menempati dan sholat sunnah. Ternyata beliau tidak sendirian, tetapi berdua dengan mas Misbah (juga teman se-KBIH) yang saat itu sedang berdo’a dengan cara menempelkan tubuhnya ke dinding ka’bah. Setelah selesai sholat sunnah, pak Imam Syafi’i menunjukkan tempat mas Misbah berdo’a dan saya diminta untuk gantian berdo’a ditempat tersebut. Sayapun akhirnya berdo’a di dinding ka’bah dan salah satu permohonan saya adalah agar saya bisa diperkenankan untuk mencium hajar aswad sebagai perwujudan ittiba’ Rasulullah SAW.

Setelah cukup puas berdo’a, saya keluar dari hijir ismail dan bersiap berdesakan menuju hajar aswad. Salah satu fenomena unik di sekitar ka’bah adalah ditengah padatnya arus jama’ah yang sedang thawaf ada saja celah ruang kosong yang terkadang terbuka begitu saja berada di hadapan kita. Begitu keluar dari hijir ismail, saya kembali mendapati ruang kosong antara antrian jama’ah yang mau ke hajar aswad dengan jama’ah yang berniat thawaf saja. Saya sempat menunggu kedua teman dalam waktu yang relatif lama (dalam hitungan detik, lebih dari 10 detik) agar bisa bareng dan saling bantu dalam mencium hajar aswad. Namun karena mereka berdua tidak kunjung kelihatan, maka saya kembali merapat ke jama’ah yang sedang antri menuju hajar aswad.

Ka’bah merupakan sebuah bangunan berbentuk mirip kubus dengan ukuran panjang 9 meter, lebar 9 meter dan tinggi 9 meter. Pada dinding luar ka’bah terdapat lempengan kuningan yang menonjol dan membentuk formasi kotak-kotak kecil. Sementara pada dinding yang menempel di lantai terdapat marmer putih berbentuk segitiga yang tingginya kurang lebih 50 cm. Cara yang relatif aman untuk antri dalam mencium hajar aswad adalah naik segitiga yang menjadi kaki ka’bah tersebut dan menempelkan tubuhnya pada dinding ka’bah. Agar tidak jatuh mereka juga berpegangan pada lempengan kuningan yang terdapat pada dinding ka’bah. Sehingga dinding sepanjang antara rukun (sudut) syamsi dengan rukun hajar aswad terlihat barisan jama’ah yang sedang naik segitiga marmer. Sedangkan yang tidak bisa naik, antri dibawahnya sampai 2-3 shaff berhimpitan sampai menuju hajar aswad. Adapun bila sudah tepat dibawah hajar aswad, antrian jama’ah sudah terdiri dari berbagai arah sehingga bila terdapat dorongan yang kuat dari jama’ah yang arahnya berlawanan maka kitapun bisa terpental kembali. Hal inilah yang menyebabkan ada orang yang sudah hampir sampai ke hajar aswad tetapi akhirnya terpental dan tidak bisa mencium hajar aswad.

Alhamdulillah, setelah antri beberapa saat saya mendapat giliran untuk antri diatas segitiga marmer. Dengan berpegangan lempengan kuningan saya mencoba bertahan dari berbagai dorongan yang terkadang terasa menekan kita ke depan, belakang bahkan menghimpit ke dinding ka’bah. Ketika proses antri tersebut otomatis seluruh tubuh kita menempel pada dinding ka’bah. Saat itulah saya begitu menikmati bau harumnya dinding ka’bah yang memang sangat wangi. Sambil menghirup wewangian dinding ka’bah, saya terus berdo’a agar diperkenankan dan dipermudah dalam mencium hajar aswad. Kemudian saya juga berdo’a agar terhindar dari berbagai bentuk kesyirikan. Allahumma inna na’udzubika min annusyrika bika syai’a na’lamu wa nastaghfiruka limaa laa na’lamu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kesyirikan yang kami ketahui dan kami mohon ampun atas segala bentuk kesyirikan yang kami lakukan karena ketidaktahuan kami. Saya berulang-ulang membacakan do’a tersebut agar dalam proses saya mencium dinding ka’bah dan hajar aswad bukan karena semata kedua benda tersebut tapi betul-betul karena mengikuti Rasulullah SAW dan cinta kepada Allah SWT.

Setelah antri sekitar 10 menit, sampailah saya di sebelah hajar aswad. Saya katakan sebelah karena saya berada di belakang / sebelah kanan hajar aswad dan sudah tidak ada orang lain yang antri didepan saya. Tetapi dari arah depan hajar aswad orang berjubel dan rebutan sehingga saya tidak bisa langsung menciumnya. Untuk mempertahankan posisi, tangan kiri saya berpegangan pada bibir hajar aswad yang atas sambil tetap melihat peluang untuk memasukkan kepada ke dalam rongga hajar aswad. Sambil menunggu kesempatan, saya sempat memperhatikan dinamika jama’ah yang sedang berebut menuju hajar aswad (dalam hitungan detik). Saya coba perhatikan bagaimana mereka berusaha dan berebut naik ke hajar aswad. Sebagian diantara mereka saling bantu dengan cara mendekatkan dan mengangkat temannya agar bisa segera masuk ke rongga hajar aswad. Tetapi tidak sedikit diantara mereka yang berusaha sendiri dan menyingkirkan setiap orang yang menghalanginya. Saya juga perhatikan bagaimana mereka proses turunnya orang yang sudah selesai mencium hajar aswad, karena sayapun nanti turun melalui massa yang berjubel itu juga. 

Pemandangan yang ada dirongga hajar aswad adalah keluar masuknya kepada jama’ah secara bergantian dengan waktu yang relatif sebentar/cepat. Tiba-tiba rongga hajar aswad terlihat kosong, maka dengan cepat saya turunkan kepala dan segera saya masukkan ke hajar aswad. Karena posisi saya dari sebelah kanan (bukan dari depan) dan sebagian badan saya tidak tepat berada didepan hajar aswad maka saya terasa lama untuk menyentuh hajar aswad. Beberapa kali saya ayunkan kepala saya agar bisa segera mencium batu syurga tersebut. Begitu hidung ini menyentuh hajar aswad sesaat, pada saat yang sama terasa ada tangan orang lain yang mau menarik kepala saya. Saat itu pula saya sadar bahwa orang lain mengganggap saya sudah cukup lama mencium hajar aswad dan giliran jama’ah yang lain. Oleh karena itu saya segera menarik kepala saya dan berusaha segera keluar dari kerumunan jama’ah yang mau mencium hajar aswad. Proses keluarnya ternyata tidak serumit yang saya bayangkan. Saya cukup mengikuti arus yang ada dan demi sedikit mengarah keluar menjauhi hajar aswad. Selanjutnya kembali mengikuti arus jama’ah yang sedang thawaf sampai kemudian keluar menuju tempat yang lebih lapang.

Ada perasaan lega, senang dan haru yang bercampur jadi satu. Sebuah perjuangan mengikuti sunnah Rasulullah SAW telah selesai dilalui. Semoga menjadi pelajaran agar kita senantiasa mempunyai kesungguhan dan jiddiyah yang sama dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang lain, sebagaimana kesungguhan dan pengorbanan kita dalam mencium hajar aswad. 

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar