Rabu, 30 Desember 2009

Beranda » Muamalah

Rukun Mudharabah

23 December 2009 0 Komentar Download PDF

Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga rukun.
Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib)
Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Ketiga : Pelafalan perjanjian

Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.

RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]

Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram. [4]

[A]. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.

  1. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya adalah Ijma’. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rajih. [6]
  2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
  3. Modal diserahkan harus tertentu
  4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.

Conothnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.

[B]. Jenis Usaha
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
  2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [9]
  3. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya. [10]
  4. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, [11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya. [12]

[C]. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.

  1. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. [13] Seandainya dikatakan “Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri. [14]
  2. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah. [15]
  3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.

Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut:
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. [17]

Ibnu Qudamah di dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni”.

Ibnu Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase”. [18]

[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor). [18]

Ibnu Qudamah menyatakan: “Di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika akan tidak disebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra’yi (Hanafiyah)”. [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.

[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna.

Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]

[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]

Ibnu Qudamah menyatakan: “Jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para ulama”.

Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal:
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]

[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.

Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa Dua Macam.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]

RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)

Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25]

Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga terbangunlah mua’amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak lain. Wallahu a’lam

__________
Foote Note
[1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh Muhammad Najib Al-Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu al-Muhadzab (15/148).
[2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
[3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
[4]. Lihat kitab Ma’la Yasa’u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
[5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op, cit (15/143)
[6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti, op.cit (4/258)
[7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit (15/144)
[8]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/145)
[9]. Ibid (15/146-147)
[10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
[11]. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
[12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
[13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
[14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
[15]. Inid (15/159)
[16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit. (4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
[17]. Masalah kerugian lihat artikel “Membagi Kerugian Dalam Mudharabah”.
[18]. Al-Mughni, op.cit. (7/138)
[19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
[20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
[21]. Ibid (7/165)
[22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
[23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
[24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
[25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Senin, 21 Desember 2009

Beranda » Fiqih, Ibadah

Fiqih Ibadah Haji (1)

27 October 2009 3 Komentar Download PDF

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz dzariyat:56)

kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.

1. Definisi Haji

a. Secara Etimologi

Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]

b. Secara terminologi syariat

Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.

2. Dalil Pensyari’atannya

Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Adapun dalil dari Al-Qur’an:

ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلاً ومن كفر فإن الله غني عن العـالمين

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)

dan firman Allah Ta’ala

وأتموا الحج والعمرة لله فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلة فمن كان منكم مريضًا أو به أذًى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام فى الحج وسبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا الله واعلموا أن الله شديد العقاب

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)

Dalil dari As-Sunnah:

Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

خطبنا رسول الله فقال يأأيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان

“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’

Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]

3. Syarat-syarat haji

Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan

5. Merdeka

4. Miqat-miqat untuk haji

Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.

2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.

3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah

Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:

الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج …… الأية

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)

dan firman Allah Ta’ala :

وأذان من الله ورسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين

“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah 9:3)

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari (شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

وقت رسول الله لأهل المدينة ذا الحليفة ولأهل الشام الجحفة ولأهل النجد قرن ولأهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)

Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.

Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.[8] Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu?

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:

أن رسول الله وقت لأهل العراق ذات العرق

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:

فانظروا حذوها من طريقكم

“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.

Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah,

a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.

b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

ولمن أتى عليهن من غير أهلهن

“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).

Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:

أمرني رسول الله أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)

Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:

a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat

b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.

2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

إنه لا يدخل إلا من كان محرمًا

“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”

b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.

Mereka berdalil sebagai berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

لمن أراد الحج و العمرة

“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk makkah

Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)

Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:

a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.

b.Tidak memiliki udzur syar’i.

maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.

3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:

a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.

b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah

c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.

d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.

e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

5. Jenis-jenis Manasik Haji

Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:

1. Ifrad

Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:

a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.

b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

2. Tamattu’

Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.

3. Qiran

Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:

a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “لبيك عمرةً وحجًا ” dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:

صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:

سعيك طوافك لحجك وعمرتك

“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)

c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:

Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:

أهل رسول الله Shallallahu’alaihi Wasallam بالحج

Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.

dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة

“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.

Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama” [10]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Hadits Anas, beliau berkata:

سمعت رسول الله أهل بها جميعًا: لبيك عمرة و حجًا، لبيك عمرة و حجًا (متفق عليه)

“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan (Mutafaqun Alaih)

Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:

سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول الله لقولك (رواه البيهقي)

“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)

Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:

  • Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
  • Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
  • Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:

a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة

“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)

b. Hadits Aisyah:

خرجنل مع رسول الله ولا أريد إلا أنه الحج، فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول الله ما لم يكن ساق الهديي أن يحل، قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا

“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam

لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة

“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah:

فدخل علي و هو غضبان فقلت: من اغضبا يا رسول الله اخله الله النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون

“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya – والله أعلم -

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamaRadhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”[11]

[Bersambung]

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com


[1] Al-Mughni, 5/5

[2] Syarhul Mumti’, 7/7

[3] Muzakirat Syarhul ‘Umdatil Fiqh, Kitab Haji wal Umrah hal.1

[4] Lihat Al-Ijma, oleh Ibnul Mundzir hal 54 dan Al-Mughny 5/6

[5] Lihat Syarhl Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/302

[6] Lihat Syarhul Mumti’, 7/62-64 dan Syarah Umdatul Fiqh hal 14

* dikenal sekarang dengan As-Sa’diyah

[7] Syarah ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/316

* Dikenal sekarang dengan nama As-Sail al-Kabir.

[8] Syarah Umdah Ibnu Taimiyah 2/316

[9] Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al Irwa’ 6/176

[10] Al-Ikhtiyarat Fiqhiyyah, hal 117

[11] Kitab Manasik hal. 14

Beranda » Mengenal Islam

Haji, Antara Tauhid Dan Pembinaan Pribadi Muslim

23 October 2009 2 Komentar Download PDF

Alangkah besarnya kebutuhan manusia kepada pembinaan dan pembersihan jiwanya, apalagi ketika dosa bertumpuk-tumpuk dihatinya akibat kemaksiatan dan tingkah polahnya. Alangkah besarnya kebutuhan manusia kepada pembersihan jiwa, ketika akal dan suluk(perilaku)-nya telah dikotori penyimpangan dari jalan Allah.

Ketika itulah terasa betapa besar kebutuhan manusia kepada obat yang dapat menyembuhkan hati dan akalnya. Memang membersihkan jiwa merupakan satu kebutuhan mendesak dan penting yang harus dicari dan dijalankan seorang manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Asy Syams:8-10)

Ibadah haji yang sudah diambang pintu ini disyariatkan untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya:

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya (HR. Muslim no.2404)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan: “Semua syariat Allah kepada hambanya berupa ketaatan, amalan yang mendekatkan diri (amalan taqarrub) dan hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan dari perkataan dan perbuatan diadakan untuk mensucikan jiwa mereka dan memperbaiki masyarakat mereka”.[1]

Demikianlah haji satu syiar Allah yang disyariatkan untuk mensucikan jiwa dan membinanya menjadi seorang yang takwa, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يُعَظِمْ شَعَاائرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَ القُلُوْبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka itu termasuk ketakwaan hati (QS. Al Hajj:30)

Apalagi ibadah haji adalah ajaran yang Allah bebankan kepada Nabi Ibrahim dan ibadah yang diwajibkan kepada para hambaNya.

Allah berfirman:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah(QS. Al Imran: 97)

dan firmanNya:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah” (QS. Al Baqarah:196)

Bahkan lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menjadikannya sebagai salah satu rukun islam yang lima dalam sabdanya:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun diatas lima perkara, syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Ramadhan” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Memang pantas, bila haji dapat membina dan membersihkan jiwa seorang muslim, karena berisi tauhid dan pendidikan serta pembinaan yang mengarah kepada pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia dan luhur.

Haji dan Tauhid

Ibadah haji tidak dapat dipisahkan dari ajaran tauhid dan prakteknya, hal ini tampak jelas dalam realitas yang terjadi dalam ibadah tersebut. Hal ini dapat digambarkan dalam amalan-amalannya, diantaranya:

  1. Perintah Allah untuk mengikhlaskan ibadah haji hanya kepadaNya, seperti firman Allah:

    وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ

    Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah (QS. Al Baqarah:196)

    Hal ini menunjukkan haji dan umroh tidak diterima kecuali harus terwujud keikhlasan yang merupakan realitas tauhid padanya.

  2. Perintah Allah untuk mempersiapkan bekal dan nafaqah sehingga tidak membebani orang lain, seperti firman Allah:

    الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

    (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al Baqarah: 197)

    Syaikh DR. Shalih bin Abdillah bin Fauzan menyatakan: “Dahulu banyak orang berhaji tanpa membawa bekal cukup dan beranggapan kami tawakal (kepada Allah saja), akhirnya mereka menjadi tanggungan orang lain. Ketika Allah perintahkan mempersiapkan bekal duniawi (materi) untuk safar dunia, maka Allahpun memerintahkan untuk mempersiapkan bekal maknawi dalam safar akherat ini dalam firmanNya:

    وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

    Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa (QS. Al Baqarah:197)

    Siapa yang tidak mempersiapkan sama sekali bekal tersebut, maka akan terputus perjalanannya dan tidak sampai ke Surga. Lalu Allah tutup ayat ini dengan firmanNya:

    وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

    “Bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. Al Baqarah:197)

    Ini merupakan seruan umum kepada orangyang berakal untuk bedrtakwa dalam ibadah haji dan selainnya”.[2]

  3. Perintah mengangkat suara dalam talbiyah setelah ihram menunjukkan perintah menampakkan I’tikadnya tentang tauhid, karena talbiyah berisi tauhid dengan seluruh bagiannya. Tentunya hal ini menunjukkan arti penting tauhid dalam ibadah haji.
  4. Do’a paling utama yang dibaca ketika wukuf di Arafah adalah:

    لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

    sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

    خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

    Sebaik-baik do’a adalah do’a arofah dan sebaik-baik yang akudan para Nabi sebelumku baca (waktu itu) adalah:

    لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

    (HR. At Tirmidzi)

    Ini merupakan pemberitahuan kepada semua orang pada hari itu tentang masalah tauhid ibadah. Ini dapat dilihat dari makna dan keutamaannya agar setiap muslim yang menunaikan ibadah haji merasakan maknanya lalu memurnikan ibadah dengan ikhlas tanpa dikotori kesyirikan sedikitpun.

  5. Perintah thawaf di Ka’bah dalam firman-Nya:

    وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

    Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah) (QS. Al Hajj: 29)

    Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa thawaf khusus dilakukan hanya di Ka’bah ini saja, tidak boleh diselainnya, sehingga seluruh thawaf di selain ka’bah adalah batil dan bukan ibadah yang diterima. Demikian juga ketika istilam (menyentuh Hajar Aswad), hendaklah dilakukan dengan keyakinan itu hanyalah syiar Allah yang dilakukan karena mencontoh dan mentaati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana dilakukan Khalifah Amirul Mukminin Umar bin Al Khathab ketika menyentuh dan menciumnya:

    أَمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرلاَ تَنْفَعُ ولاَ تَضُرُّ لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

    Demi Allah sesungguhnya aku mengetahui engkau sebuah batu yang tidak memberi manfaat dan mudhorot, seandainya aku tidak melihat Rasulullih menciummu tentu aku tidak menciummu (Mutafaqun ‘Alaihi)

    Berdasarkan hal ini tidak boleh seorang muslim mengusap-usap batu kuburan, keramat dan sejenisnya karena tidak diperintahkan dan dicontohkan.

  6. Shalat dua rakaat setelah thowaf dengan membaca pada rakaat pertama surat Al Kafirun dan kedua surat Al Ikhlas. Kedua surat ini terkandung seluruh jenis tauhid dan sikap Bara’ (berlepas diri) dari agama dan orang musyrik. Dengan demikian seorang yang berhaji dituntut untuk mengenal Rabb-nya dan mengikhlaskan seluruh amalannya hanya kepada Allah serta berlepas dari kesyirikan dan pelakunya.
  7. Demikian juga pada ibadah Sa’i antara Shafa dan Marwa. Seorang hamba melaksanakannya karen perintah Allah dalam firman-Nya:

    إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَأِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

    Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah: 158)

    dari sini seorang muslim dapat mengetahui Sa’i hanya dilakukan di Shafa dan Marwa,karena ia merupakan syiar Allah. Sa’i pada tempat ini dilaksanakan karena dasar perintah Allah, sehingga Sa’i di selain tempat ini dilarang.

  8. Ibadah yang disyariatkan pada hari tasyriq berupa dzikir kepada Allah sebagaimana firman-Nya:

    وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلآَإِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلآَإِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

    Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertaqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya (QS. Al Baqarah: 203)

    Dzikir kepada Allah dalam hari-hari ini ditampakkan dengan amalan-amalan agung yang dilakukan di Mina, berupa melempar jumrah, menyembelih kurban, shalat lima waktu. Semua amalan ini merupakan dzikir. Lihat saja dalam melempar jumrah seorang muslim bertakbir setiap kali lemparan. Demikian juga dalam menyembelih kurban merupakan dzikir sebagaimana firman Allah:

    لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَارَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ

    “Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir (QS. AlHajj: 28)

    dan firmanNya:

    وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَآئِرِ اللهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

    Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur (QS. Al Hajj: 36)

    Dari sini seorang muslim dapat mengetahui bahwa menyembelih kurban termasuk ibadah, tidak boleh dilakukan untuk selain Allah, baik berupa kuburan, para wali yang telah mati, ataupun jin, seperti mempersembahkan kepala kerbau atau menyembelih sembelihan untuk dipersembahkan kepada para jin penunggu laut atau dewi dan dewa atau yang lainnya.

  9. Diantara syiar tauhid yang lainnya yang tampak dalam ibadah haji adalah perintah Allah untuk berdzikir ditengah-tengah manasik dan setelah selesai darinya. Juga larangan dzikir kepada selain Allah seperti dalam firmanNya:

    لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ

    Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allahsebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang -orang yang sesat (QS. Al Baqarah:198)

    Demikianlah haji penuh berisitauhid dan syiar-syiarnya. Seharusnya hal ini membuat seorang jamaah haji dapat membina dirinya menjadi seorang muwahid dengan sarana ibadah haji ini.

Haji dan Pembinaan Pribadi Muslim

Haji merupakan satu ibadah agung yang berisi pembinaan dan pendidikan terhadap seorang muslim agar menjadi hamba Allah yang shalih.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: “Haji merupakan salah satu kewajiban besar bagi para hamba untuk mensucikan dan menyelamatkan jiwa mereka dari permusuhan, kebencian, ambisius dan sikap-sikap jelek lainnya. Juga (disyariatkan) untuk memotivasi jiwa agar mendapatkan pahala Allah dan mengingatkannya pada perjumpaan Allah dihari pembalasan. Ini disebabkan kandungan ibadah haji yang agung berupa penyerahan segala kemampuan dan harta, menahan lelah dan susah dan meninggalkan keluarga, kampung halaman serta pekerjaan duniawi lainnya. Mereka menghadap Allah dengan melaksanakan ketaatan dan ibadah (semata). Juga (dalam ibadah ini) mereka berkumpul dengan saudara-saudara mereka seagama yang datang dari segala penjuru dunia untuk mendapatkan kemanfaatan (yang berguna) untuk mereka.

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (QS. Al Hajj: 28)[3]

Hal ini dapat dilihat jelas dalam amalan-amalannya,diantaranya:

  1. Kesamaan pakainan ihram. Hal ini cukup menjelaskan adanya dasar kesamaan dan persamaan dalam islam. Kesamaan para jamaah haji dalam satu bentuk dan pakaian mendidik jiwa seorang untuk meninggalkan segala bnentuk rasialisme, perbedaaan status sosial, suku, bangsa atau warga negara. Demikian juga ini membina jiwa untuk membeda-bedakan orang karena kekayaan, martabat, jabatan dan lain-0lain. Sehingga ketakwaan dan amal shaleh-lah yang akan membedakan seseorang dengan yang lainnya Allah berfirman:

    إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

    Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu (QS. Al Hujurat: 13)

    Juga hal ini berisi pendidikan dan pembinaan pribadi muslim diatas dasar makna ibadah, ketaatan yang tulus dan meninggalkan gemerlap dunia dan perhiasannya, karena mereka berada dalam satu tempat, satu ketaatan dan satu tata cara dan pakaian. Tentunya hal ini membina seorang muslim untuk ber-tawadhu’ dan merasa sama dengan sesamanya.

  2. Talbiyah yang diucapkan para jamaah haji juga mendidik merekea untuk bersdegera memenuhi perintah Allah dengan lisannya, ketika mereka mengucapkan “Labaik Allahumma labaik….
  3. Para jamaah haji meninggalkan keluarga, kampung halaman, harta, anaknya hanya untuk menghadap Allah dan memenuhi panggilannya. Hal ini dilakukan dengan menempuh perjalanan yangcukup melelahkan. Tentunya semua ini merupakan pembinaan dan pendidikan terhadap peribadi muslim untuk selalu menerima dan memenuhi perintah Allah walaupun hjarus mengorbankan segala sesuatu yang ada. Juga membina untuk bersegera dan langsung melaksanakan perintah Allah.
  4. Thawaf mengelilingi ka’bah mendidik dan membina kaum muslimin agar memiliki kesatuan tujuan dan meninggalkan perpecahan dan perselisihan. Gerakan thawaf yang mengelilingi satu tempat memberikan isyarat keharusan mengambil satu jalan yaitu jalan yang yang lurus yang tidak ada pernyimpangannya, sebagaimana firman Allah:
  5. وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

    Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (QS. Al An’am:153)

  6. Wukuf di Arafah mendidik kaum muslimin untuk menyatukan barisan dan kekuatan serta merapatkan persatuan dan kesatuannya. Mereka tinggal menetap di satu tempat dari berbagai jenis, suku bangsa, warna dan tempat asal hanya untuk satu tujuan dan satu tempat. Hal ini sangat mungkin terjadi karena Rabb, Al Qur’an, Nabi, Aqidah dan panutan mereka satu.
  7. Melempar jumrah mendidik seorang muslim menjauhi dan memerangi syaitan dengan dzikir kepada Allah dalam setiap lemparan batu dan juga mendidik seorang muslim untuk mencontoh dan meneladani Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.
  8. Pilihan mencukur gundul rambut atau menipiskannya mendidik seorang muslim untuk dapat memilih sesuai dengan keadaan dan keinginannya. Hal ini juga menunjukkan syariat islam selalu memperhatikan keinginan pribadi dan tabiat manusia dan memotivasi mereka mengambil amalan yang lebih baik dan besar pahalanya.
  9. Kaitan ibadah hati dengan syarat kemampuan mendidik seorang muslim untuk tidak membebeni dirinya dengan sesuatu yang tidak ia mempui. Sehingga dari sini tampak bahwa pendidikan islam selalu memperhatikan kemampuan dan kemudahan.
  10. Rukun haji dan tertib manasiknya membina seorang muslim untuk teliti, tertib dan disiplin baik disiplinb peraturan atau waktu.
  11. Perintah memperbanyak dzikir dan do’a di hari-hari haji membina dan mendidik seorang muslim untuk selalu ingat kebesaran Allah dan selalu berdzikir dan juga ada anjuran memperbanyak amalan shalih agar senantiasa memiliki hubungan dengan Allah.
  12. Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu sekali seumur hidup. Hal ini memberikan kesempatn kepada semua orang untuk berhaji dan memberikan kemudahan kepada kaum muslimin.
  13. Larangan-larangan Ihram dari hal-hal yang mubah seperti jima’, minyak wangi, berpakaian yang dijahit, berburu dan lain-lainnya sangat membina dan mendidik seorang muslim tidak melakukan perbuatan haram dan terlarang dan membina keimanannya kepada perintah Allah sehingga dengan demikian dapat memberikan ketenangan dan keamanan diri dan alam semesta.Dengan demikian ibadah haji memiliki satu arti penting dalam pembinaan dan pendidikan seorang muslim karena berisi tauhid dan syiar-syiarnya serta berisi pendidikan praktis kepada pribadi muslim yang dimudahkan melakukan ibadah ini. Sehingga benarlah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

    مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

    Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya (HR. Muslim no.2404)

    Dengan demikian salahlah mereka yang menunaikan ibadah haji hanya untuk mendapat kehormatan dan kedudukan atau hanya sebagai wisata dan hiburan semata.

Marilah kita jadikan haji kita sarana pendidikan dan pembinaan diri untuk mencapai insan yang kamil.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com


[1] Majalah At Tau’iyah Al Islamiyah, edisi 212/ Dzulhijah 1416 hal 37

[2] ibid hal 41

[3] Majalah At Tau’iyah Al Islamiyah, edisi 212/ Dzulhijah 1416 hal 37

Beranda » Manhaj

Mengenal Khawarij

20 October 2009 2 Komentar Download PDF

Khawarij adalah firqah pertama yang menyempal dari jama’ah muslimin dan memiliki pengikut yang tidak kecil serta memiliki sejarah berdarah yang cukup panjang dengan kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Yang pertama menyempal dari jamaah muslimin, yang merupakan ahlul bid’ah, adalah Khawarij Al Maariqun[1].

Mereka menyempal dalam permasalahan i’tikad sehingga menjadi contoh bagi gerakan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam yang membuat sibuk kekhilafahan Islam dalam tempo yang sangat panjang.

Disamping itu, firqah ini masih eksis (ada) dan memiliki kekuatan sampai saat ini di negara Oman, Zanjibar (satu wilayah negara Tanzania), timur Afrika dan di sekitar negara Maroko, Tunisia, Libiya dan Al Jaza’ir dengan madzhab Ibadhiyah-nya. Demikian juga pemikiran dan keyakinan mereka masih banyak mengotori pemikiran dan keyakinan kaum muslimin hingga saat ini.

Sekilas Sejarah Munculnya Khawarij

Pemikiran dan cikal bakal kelompok khawarij telah ada di zaman nabi yaitu dengan kemunculan Dzul Khuwaishirah, sehingga Ibnul Jauzi menyatakan: “Dzul Khuwaishirah adalah khawarij pertama yang keluar dalam islam. Penyakitnya adalah ridha dengan pemikiran pribadinya. Seandainya ia diam pasti akan tahu bahwa tidak ada pemikiran yang benar yang menyelisihi pendapat Rasulullah. Pengikut orang inilah yang memerangi Ali bin Abu Thalib”[2].

Kemudian berkembang dan memulai gerakannya dengan memberontak terhadap kekhilafahan Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu dan berhasil membunuh beliau. Kemudian kelompok khawarij ini menjadi satu kelompok resmi pada tanggal 10 Syawal tahun 37 H dengan membai’at Abdullah bin Wahb Al Raasibi sebagai pemimpin mereka.[3]

Kemudian imam Ali bin Abi Thalib Radhiallah’anhu memerangi mereka di daerah Al Nahrawaan hingga tersisa sedikit dan melarikan diri kebeberapa daerah. Tentang hal ini Al Baghdadi menceritakan: “Terbunuh orang-orang khawarij pada hari itu hingga hanya tersisa sembilan orang. Dua orang dari mereka lari ke daerah Sajistaan dan dari pengikut keduanya muncul Khawarij Sajistaan, dua orang lagi lari ke Yaman dan dari pengikutnya muncul sekte Ibadhiyah di Yaman. Dua orang lainnya lari ke Omaan dan muncul dari pengikutnya Khawarij Omaan dan dua yang lainnya lari kedaerah Al Jazirah dan muncul dari pengikutnya Khawarij Al Jaziroh. Tinggal seorang lari kedaerah Tel Muzan”[4].

Khawarij inilah yang bertanggung jawab atas fitnah perpecahan pertama dan pembunuhan kaum muslimin. Hal ini karena mereka memiliki pemikiran Takfir yang sesat. Mereka mengkafirkan para penguasa muslimin dan membunuh sebagian mereka. Mereka melakukan pembunuhan terhadap menantu Rasulullah, Utsman bin Affaan, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhum dan yang lainnya dari kalangan para sahabat dan kaum muslimin. Benarlah yang dikatakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ

(Kaum Khawarij) memerangi kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala

Kemudian mereka berkembang dan pecah menjadi beberapa sekte, diantaranya Al Azaariqah, Al Najdaat, Al Sholihiyah dan Al Ibadhiyah yang sekarang masih eksis dibeberapa Negara.

Sebab penyimpangan Khawarij[5]

Diantara sebab-sebab penyimpangan Khawarij adalah:

  1. Bodoh dan tidak faham tafsir Al Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Bid’ah pertama terjadi seperti bidah khawarij hanyalah disebabkan kesalah fahaman mereka terhadap Al Qur’an, tidak ada maksud menentangnya, namum mereka memahami dari Al Qur’an dengan salah sehingga meyakini bahwa sesuatu itu mengharuskan pengkafiran para pecandu dosa, karena mukmin itu hanyalah yang baik dan takwa. Mereka menyatakan: ‘Siapa yang tidak baik dan takwa maka ia kafir dan kekal dineraka’. Kemudian menyatakan: ‘Utsman, Ali dan orang yang mendukung mereka bukan mukmin, Karena mereka berhukum dengan selain hukum Islam’. Sehingga kebidahan mereka memiliki alur sebagai berikut:
    Pertama : Siapa yang menyelisihi Al Qur’an dengan amalannya atau pendapat yang salah, maka ia telah kafir.
    Kedua: Ali dan Utsman dan semua yang mendukung keduanya dulu berbuat demikian”.[6]
  2. Tidak mengikuti Sunnah dan pemahaman para sahabat dalam menerapkan Al Qur’an dan Sunnah. Al Imam Al Bukhari menyatakan:

    كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

    Ibnu Umar memandang mereka (Khawarij) sebagai makhluk terjelek dan menyatakan: ‘Sunguh mereka mengambil ayat-ayat yang turun untuk orang kafir lalu menerapkannya untuk kaum mukminin“.

  3. Wara’ tanpa ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sikap wara’ ini menjerumuskan pemiliknya ke kebidahan besar, karena khawarij bersikap wara’ dari kedzaliman dan dari semua yang mereka yakini kedzaliman dengan bercampur baur dengan kedzaliman tersebut menurut prasangka mereka hingga mereka meninggalkan kewajiban berupa shalat jum’at, jamaah, haji dan jihad (bersama kaum muslimin) serta sikap menasehati dan rahmat kepada kaum muslimin. Pemilik wara’ seperti ini telah diingkari para imam, seperti imam empat madzhab”[7].Kemudian beliau menjelaskan bahwa sikap wara’ tidak lurus tanpa disertai ilmu yang banyak dan pemahaman yang baik dalam pernyataan beliau: “Oleh karena itu orang yang bersikap wara’ membutuhkan ilmu yang banyak terhadap Al Qur’an dan Sunnah dan pemahaman yang benar terhadap agama. Bila tidak, maka sikap wara’ yang rusak tersebut merusak lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana dilakukan ahlu bid’ah dari Khawarij dan selainnya”.
  4. Memandang satu kesatuan antara kesalahan dan dosa. Mereka menganggap kesalahan dan dosa satu hal yang tidak mungkin terpisah. Sehingga seorang yang berbuat salah menurut mereka pasti berdosa. Syaikhul Islam menyatakan: ” Orang-orang sesat menjadikan kesalahan dan dosa satu kesatuan yang tidak terpisahkan”. Kemudian beliau berkata: “Dari sini muncullah banyak sekte ahlil bid’ah dan sesat. Ada sekelompok mereka yang mencela salaf dan melaknat mereka dengan keyakinan para salaf tersebut telah berbuat dosa dan pelaku dosa tersebut pantas dilaknat bahkan terkadang mereka menghukuminya sebagai fasik atau kafir, sebagaimana dilakukan khawarij yang mengkafirkan, melaknat dan menghalalkan memerangi Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin Affaan serta orang-orang yang loyal terhadap keduanya”. [8].
  5. Keliru dan rancu memahami wasilah dan maqaasid (tujuan syar’i). contohnya amar ma’ruf nahi mungkar adalah sesuatu yang dituntut dalam syari’at (Mathlab Syar’i) yang memiliki ketentuan, batasan dan wasilah (sarana) tertentu. Kaum Khawarij dengan sebab berpalingnya mereka dari Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan yang mungkar menjadi ma’ruf dan sebaliknya yang yang ma’ruf jadi mungkar. Oleh karena itu Syaikhul Islam menyatakan: “Kebidahan yang pertama kali muncul dan paling dicela dalam Sunnah dan atsar adalah bidah khawarij. Mereka memiliki dua kekhususan masyhur yang membuat mereka menyempal dari jamaah muslimin dan imam mereka:
    Pertama: keluar dari Sunnah dan mereka jadikan yang tidak jelek dianggap kejelekan dan yang tidak baik dianggap kebaikan.
    Kedua: pada Khawarij dan ahli bidah, mereka mengkafirkan orang lain hanya dengan sebab perbuatan dosa dan kejelakan. Konsekuensi dari vonis kafir dengan sebab perbuatan dosa ini adalah menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka dan (menganggap) negeri Islam negeri kafir dan negeri mereklah negeri iman”[9].

Pemikiran dan Aqidah Khawarij

Diantara pemikiran dan aqidah Khawarij yang terkenal adalah:

  1. Mengkafirkan pelaku dosa besar dan memberlakukan hukum orang kafir didunia dan akhirat padanya. Abul Hasan Al ‘Asy’ari ketika menceritakan pokok ajaran khawarij menyatakan: “Mereka (Khawarij) seluruhnya sepakat menyatakan semua dosa besar adalah kekufuran kecuali sekte Al Najdaat; mereka tidak berpendapat demikian”.[10]
  2. Mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dan memaksa orang lain mengikuti kebidahannya. Setelah itu menghalalkan darah dan harta orang yang menyelisihinya.[11] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darinya –dengan dalih telah murtad menurut anggapan mereka- sesuatu yang tidak pernah mereka halalkan dari orang kafir asli, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

    يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ”

    Memerangi kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala (Ahlul Autsan)“.[12]

  3. Mengingkari adanya syafaat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap pelaku dosa besar yang belum bertaubat sebelum wafatnya.
  4. Mencari-cari kesalahan para ulama salaf dan salafi, karena mereka memandang para ulama tersebut sebagai batu sandungan dalam jalan mewujudkan tujuan mereka.[13]
  5. Membenci kaum muslimin dan mengkafirkan mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka.
  6. Mencari kesalahan pemerintah yang sah (Waliyul Umur) dan mengajak orang banyak untuk menyerangnya kemudian mencela pemerintah dan mengkafirkan mereka.[14]
  7. Mewajibkan menggulingkan pemimpin (pemerintah) yang berbuat dzolim dan jahat dan melarang mereka menjadi penguasa dengan segala cara yang mereka mampui, baik dengan kekerasan senjata atau tidak. Abul Hasan Al Asy’ari menuliskan catatan tentang khawarij: “Mereka memandang (wajib) menggulingkan penguasa yang lalim dan mencegah mereka menjadi penguasa dengan segala cara yang mereka mampui , dengan pedang atau tidak denga pedang”[15]. Sedangkan Ibnul Jauzi menyatakan: “Terus saja Khawarij memberontak terhadap pemerintah. Mereka memiliki beraneka ragam madzhab. Pengikut Naafi’ bin Al Azraq menyatakan: Kami masih musyrik selama masih berada di negeri syirik, apa bila kami memberontak maka kami menjadi muslim. Mereka juga menyatakan: Orang yang menyelisihi kami dalam madzhab adalah musyrik, pelaku dosa besar adalah musyrik dan orang yang tidak terlibat ikut serta bersama mereka dalam perang adalah orang kafir. Mereka menghalalkan pembunuhan wanita dan anak-anak kaum muslimin dan memvonis mereka dengan syirik”[16].

Demikian sekilas tentang Khawarij. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita semua dari pemikiran, aqidah dan fitnah mereka ini.

Referensi:

  1. Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, DR. Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji
  2. Al Takfir wa Dhawaabithuhu, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Al Ruhaili, cetakan pertama tahun1426H, Dar Al Imam Al Bukhari
  3. Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah
  4. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
  5. Majalah Umati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com


[1] Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah, 1/53.

[2] Talbis Iblis, hal 90.

[3] Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah, 1/53.

[4] Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hal 80-81, lihat Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, DR. Gholib bin ‘Ali ‘Awaji hal 95.

[5] Diringkas dari makalah berjudul Al Ru’yah Al Salafiyah Lil Waaqi’ Al Mu’ashir, tulisan Syaikh Abdullah bin Al ‘Ubailaan. Majalah Ummati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M hal 8-11 dan Al Takfir wa Dhawaabithuhu, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Al Ruhaili, cetakan pertama tahun1426H, Dar Al Imam Al Bukhari.

[6] Majmu’ Al Fatawa, 13/30-31

[7] Majmu’ Fatawa, 20/140

[8] Majmu’ Al Fatawa, 35/69-70

[9] Majmu’ Al Fatawa, 19/71-73

[10] Maqaalat Islamiyyin, 1/168 dinukil dari Al Takfir Wa Dhawabithuhu, hal 173.

[11] Majmu’ Al Fatawa, 3/279

[12] Majmu’ Al Fatawa, 3/355

[13] Majalah Umati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M hal 11

[14] ibid

[15] Maqaalat Islamiyyin, 1/204 dinukil dari Al Takfir Wa Dhowabithuhu, hal 174

[16] Talbis Iblis hal 130-131 dinukil dari Al Takfir Wa Dhawabithuhu, hal 174