Senin, 22 Februari 2010

Beranda » Manhaj

Implikasi Buruk Pemikiran Murji’ah

15 February 2010 1 Komentar Download PDF

Perpecahan kaum muslimin menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang banyak tidak dapat dipungkiri lagi. Semua itu tidak lepas dari jauhnya mereka dari ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya dalam beragama. Ini tampak jelas.

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Sungguh siapa diantara kalian yang hidup maka akan melihat perselisihan yang banyak dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena ia adalah kesesatan. Siapa dari kalian yang mendapatinya maka wajib komitmen kepada sunnahku dan Sunnah para khulafa` Rasyidin al Mahdiyin, gigitlah ia dengan gigi grahammu“. (HR At Tirmidzi).

Demikianlah sejarah membuktikan kebenaran wasiat beliau n ini, hingga tidak terjadi perselisihan dan perpecahan kecuali pada akhir khilaafah khulafa’rasyidin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyatakan, “Ketahuilah bahwa mayoritas kebid’ahan yang berhubungan dengan aqidah dan ibadah hanyalah terjadi di akhir-akhir khilafah khulafa’ rasyidin”1. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan, “Ketika berlalu masa khulafa’ rasyidin dan kekuasaan berada di tangan raja, maka munculkan kelemahan pada para penguasa. Sehingga hal ini mesti akan tampak juga pada para ulamanya. Lalu muncul pada akhir kekhilafahan Ali dua kebid’ahan yaitu Khawarij dan Rafidhah, ketika itu kebid’ahannya berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan khilafah serta amalan dan hukum-hukum syari’at yang muncul darinya . . . Kemudian setelah Yazid meninggal dunia maka umat islam terpecah belah; Ibnu Az Zubeir di Hijaaz, Bani Al Hakam di Syaam dan al-Mukhtaar bin Abi ‘Ubaid dan selainnya di Iraaq, ini terjadi diakhir masa sahabat dan masih tersisa sebagian mereka diantaranya Adullah bin ‘Abaas, Abdullah bin ‘Umar, Jaabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri dan lain-lainnya. Muncullah bid’ah al-Qadariyah dan al-Murji’ah lalu sahabat yang masih hidup seperti Ibnu ‘Abaas, Ibnu ‘Umar, Jaabir, Waatsilah bin al-Asyqa’ dan selainnya membantah kebidahan ini. Sebagaimana mereka dan selainnya dahulu membantah kebidahan khawarij dan Rafidhah”2.

Munculnya kelompok murji’ah ini diawal masa tabi’in tepatnya setelah selesai pemberontakan atau fitnah Ibnu Al-Asy’ats, sebagaimana dinyatakan Qataadah bin Da’aamah As-Sadusi, “Irja’ (pemikiran murji’ah) munculnya setelah kekalahan Ibnu al-Asy’ats”3. Demikian juga Imam Al-Bukhaari Rahimahullah membawakan bukti otentik keberadaan murji’ah ini dimasa tabi’in dengan membawakan satu riwayat dari Zubaid Rahimahullah beliau berkata:

سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Aku bertanya kepada Abu Waa’il tentang Al Murji’ah, lalu beliau menjawab: Telah mengkhabarkan kepadaku Abdullah bahwa Nabi n bersabda, Mencela muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR. Al Bukhari, kitab Al Iman, Bab Khouf al-Mu`min min An Yahbitho ‘Amaluhu Wahuwa La Yasy’urun no. 48)

Ibnu Hajar al-’Asqalani Rahimahullah mengomentari hadits ini dengan pernyataan, “Ucapan ( سألت أبا وائل عن المرجئة ) bermakna tentang pemikiran Murji`ah. Dalam riwayat Abu Daud al-Thayalisi Rahimahullah dari Syu’bah Rahimahullah dari Zubaid Rahimahullah beliau berkata: “Ketika muncul Murji`ah aku mendatangi Abu Waa’il Rahimahullah lalu aku sampaikan hal tersebut. Sehingga jelaslah bahwa pertanyaannya itu tentang keyakinan mereka dan itu dilakukan pada waktu kemunculan mereka. Abu Waa’il Rahimahullah wafat tahun 99 H dan ada yang berpendapat tahun 82 H. hal ini menunjukkan bahwa kebidahan murji`ah ini sudah lama sekali”4.

Dengan demikian kebid’ahan murji`ah ini telah muncul pada masa-masa terbaik umat ini.

Pemikiran Irja’, satu kebidahan dan kesesatan
Para ulama sepanjang masa telah menetapkan Murji`ah sebagai kelompok bid’ah yang sesat dan mengingkari serta membantah mereka, diantara mereka adalah:

  • Abdullah bin Abbas bin Abdil Muthalib (wafat tahun 68 H). Beliau Radhiallahu’anhu menyatakan, “Berhati-hatilah dari Irja’ karena ia adalah cabang dari pemikiran Nashrani”.
  • Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Nakha’i. (Wafat tahun 96H). Beliau Rahimahullah menyatakan, “Sungguh finah mereka (Murji`ah) menurutku lebih aku takutkan atas umat ini dari fitnah al-Azaariqah (Khawarij)”6
  • Muhammad bin Muslim al-Zuhri (wafat tahun 125H). Beliau berkata, “Tidak ada satu kebid’ahan dalam Islam yang lebih berbahaya dari pemeluknya (muslimin) dari kebid’ahan ini yaitu Al-Irja’”7
  • Yahya bin Sa’id al-Anshari (wafat tahun 144 H) dan Qataadah (Wafat tahun 113H). Al-Auzaa’i Rahimahullah menyatakan, “Dulu Yahya dan Qatadah menyatakan, ‘Tidak ada kebid’ahan yang lebih ditakutkan menurut pendapat mereka atas umat ini dari al-Irja’ ‘”8
  • Manshur bin Al-Mu’tamir Al-Sulami (wafat tahun 132H ). Beliau Rahimahullah menyatakan, “Aku tidak berpendapat seperti pendapat Murji`ah yang sesat dan bid’ah”9.
  • Malik bin Anas bin Malik (wafat tahun 179 H). Ada beberapa riwayat tentang sikap beliau terhadap Murji’ah dan pemikirannya yang dapat diringkas dalam tiga hal:
    1. Tidak mengadakan perdebatan atau pernikahan dengan mereka dan ini termasuk hajr yang disyari’atkan.
    2. Membantah dan menjelaskan kebatilan madzhab Murji`ah
    3. Tidak mengkafirkan mereka dengan sebab pemikiran dan kebid’ahan mereka10.
  • Ahmad bin Hambal (wafat tahun 241H). Beliau Rahimahullah ditanya, “Siapakah orang murji`ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang murji`ah adalah yang menyatakan bahwa iman itu hanyalah pernyataan”. Beliau juga ditanya tentang orang yang menyatakan bahwa iman itu hanyalah perkataan. Lalu beliau menjawab, “Ini perkataan ahlu al-Irja’, perkataan bid’ah tidak pernah disampaikan para salaf kita dan orang-orang panutan”11.
  • Abu Abdillah Muhammad bin Bathah al-Akbari (wafat tahun 387 H) setelah menyampaikan banyak celaan ulama atas Murji`ah menyatakan, “Berhati-hatilah kalian –Rahimakumullah- dari bermajlis dengan kaum yang keluar dari Islam, karena mereka telah menentang al-Qur`an. Menyelisihi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan keluar dari Ijma’ ulama muslimin. Mereka menyatakan bahwa iman adalah perkataan tanpa amalan”12. Dalam kesempatan lain beliaupun menyatakan, “Berhati-hatilah kalian! -Rahimakumullah- orang yang menyatakan, ‘Saya mukmin di sisi Allah’, ’saya mukmin yang sempurna imannya’ dan ‘Iman saya seperti imannya Jibril dan Miikaa`iil’. Mereka ini semuanya adalah Murji`ah yang sesat, menyimpang dan berpaling dari agama”13.
  • Syaikh Al-Albani (Wafat tahun 1421 H) memasukkan Murji`ah ke dalam golongan Ahlu al-Hawa dan Bid’ah14.
  • Lajnah ad-Daa`imah Lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta` menyatakan dalam fatwanya no. 21436 tanggal 8 Rabi’ ats-Tsani 1421H tentang fenomena pemikiran Murji`ah dizaman ini. mereka menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah) adalah batil dan sesat secara nyata, menyelisihi al-Qur`an, Sunnah dan ijma’ ahlus Sunnah wa al-Jama’ah sejak dahulu sampai sekarang”15.

Oleh karena itu para ulama terdahulu sampai sekarang memberikan perhatian serius dalam membantah Murji`ah dan penganutnya. Mereka menjadika masalah ini sebagai satu topic pembahasan khusus dalam kitab-kitab aqidah, bahkan menulis karya tulis khusus tentang bantahan terhadap mereka seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan selainnya.

Bahaya dan Implikasi Buruk Murji`ah
Melihat pengingkaran dan peringatan keras para ulama diatas, sudah seharusnya kita berhati-hati terhadapa bahaya yang muncul dari kebid’ahan Murji`ah ini dan menjelaskan bahaya dan dampak buruknya terhadap umat. Khususnya di zaman kiwari ini dikala umat islam jauh dan bodoh terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Diantara bahaya dan dampak buruknya adalah:

  1. Sebagai satu kebid’ahan, maka Murji`ah bila masuk dalam aqidah kaum muslimin dapat memporak-porandakan persatuan dan kesatuannya. Sebab kebid’ahan bila muncul dan berkembang dalam tubuh umat islam akan menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka. Hal ini karena pelaku kebid’ahan akan membela kebid`ahanya, padahal Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pasti ada pendukung yang menegakkannya. Dengan demikian umat akan terpecah16.
  2. Membuat pemilik aqidahnya masuk dalam 72 golongan yang diancam masuk neraka dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam :

    إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

    Sesungguhnya orang sebelum kalian dari ahli kitab telah berpecah belah dalam 72 golongan dan sungguh umat ini akan pecah menjadi 73 golongan; 72 golongan di neraka dan satu disyurga yaitu al-Jama’ah” (HR Abu Daud).
    membuat banyak hukum islam yang hilang yang merupakan satu sebab hilangnya syari’at dan membuat kerusakan pada keindahan islam yang merupakan sebab orang berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah17. Ini merupakan salah satu dampak buruk kebid’ahan secara umum dan Murji`ah masuk didalamnya.

  3. Telah berdusta atas nama Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela seluruh ulama.
    Imam al-Ajuri (wafat tahun 360H) menyatakan, “Siapa yang memiliki pemikiran seperti ini (Irja`) maka telah berdusta atas nama Allah dan membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama, karena pemilik pemikiran ini menganggap bahwa orang yang telah mengucapkan La Ilaha Illa Allah maka dosa besar yang dilakukannya dan kekejian yang ia laksanakan tidak merusaknya sama sekali dan menurutnya orang yang baik dan takwa yang tidak melakukan sedikitpun hal-hal tersebut dengan orang yang fajir adalah sama. Ini jelas kemungkaran. Allah berfirman:

    أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

    Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” (QS. Al-Jatsiaat: 21) dan firman Allah Ta’ala :

    أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

    Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?” (QS. Shaad: 28)

  4. Meyakini bahwa amalan tidak mempengaruhi imannya, sehingga banyak orang menyatakan bahwa yang penting adalah hatinya dalam berbuat kemaksiatan seakan-akan perbuatan tersebut tidak mempengaruhi keimanan dihatinya.
    membuka pintu untuk orang-orang rusak melakukan kerusakan dalam agama dan tidak merasa terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan dimasyarakat muslimin. Bahkan bukan tidak mungkin membuat mereka melakukan kekufuran dan kesyirikan dengan beralasan itu adalah amalan dan tidak merasa imannya berkurang dan hilang. Na’udzubillahi min al-Dhalal!
  5. Menghilangkan unsur jihad fisabilillah dan amar ma`ruf nahi mungkar.
  6. Menyamakan antara orang shalih dengan yang tidak dan orang yang istiqamah diatas agama Allah dengan yang fasik. Sebab menurut versi mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang sebagaimana amal maksiat tidak mempengaruhi imam.

Hal-hal ini disampaikan Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts ‘Ilmiyah wa al-Ifta` dalam fatwa mereka no. 21436 tanggal 8 Rabi’ ats-Tsani 1421H tentang fenomena pemikiran Murji`ah dizaman ini. Mereka menyatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah) adalah batil dan sesat yang nyata, menyelisihi al-Qur`an, Sunnah dan ijma’ ahlus Sunnah wa al-Jama’ah sejak dahulu sampai sekarang. Pemikiran Murji`ah ini membuka pintu bagi orang-orang jelek dan rusak untuk lepas dari din al Islam dan tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at, rasa takut dan khawatir dari Allah Ta’ala. juga menghilangkan sisi jihad fisabilillah dan amar ma`ruf nahi mungkar dan menyamakan antara yang shalih dengan yang thalih (tidak shalih), yang taat dengan yang maksiat dan yang istiqamah diatas agama Allah Ta’ala dengan yang fasik yang lepas dari perintah dan larangan syari’at selama amalan-amalan mereka tersebut tidak mempengaruhi iman seperti pernyataan versi mereka . . . Syaikhul Islam Rahimahullah berkata, ‘Para salaf terdahulu sangat keras pengingkaran mereka terhadap Murji`ah karena mereka mengeluarkan amalan dari iman dan tidak diragukan lagi bahwa pernyataan Murji`ah yang menyamakan iman manusia termasuk kesalahan yang sangat besar. Yang benar manusia tidak sama dalam tashdiq, cinta, takut dan ilmu bahkan berbeda-beda tingkatannya dari sisi yang banyak’”.

Inilah konsekuensi pernyataan mereka bahwa amalan tidak termasuk iman. Karena itu muncul pernyataan mereka bahwa iman Abu Bakar Radhiallahu’anhu dan iman Iblis adalah satu18. Demikian inilah penyebab Murji`ah jauh dan berpaling dari penjelasan al-Qur`an, Sunnah dan pernyataan para sahabat, tabi’in dan ulama besar umat ini dan bersandar kepada pemikiran mereka dan yang mereka fahami dari bahasa Arab semata19.

Demikianlah sebagian dari bahaya dan dampak buruk pemikiran Murji`ah, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahi Taufiq.

Referensi

  • Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tanpa cetakan dan tahun
  • Al Ibaanah ‘An al-Syari’at al-Firqat al-Najiyah Wa Mujaanabat al-Furqah al-Madzmuumah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, tahqiq Ridha bin Na’saan Mu’thi, cetakan kedua tahun 1415H, Dar al-Raayah
  • Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Salafiyah
  • Al-Muntaqa Min Syarhi Ushul I’tiqaad Ahli as-Sunnah wa al-Jamaa’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur AliMuwaafi, cetakan pertama tahun 1415H, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA
  • Al-Bid’ah Asbaabuha wa Madhoruha, Syaikh Mahmud Syaltuut, Tahqiq Syaikh Ali Hasan, cetakan kedua tahun 141H, Dar Ibnu al-Jauzi,
  • Silsilah al-Ahadits al-Shohihah, Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cetakan pertama tahun 1417H, Maktabah al-Ma’aarif, Riyaadh, KSA
  • Firaq Mu’asharah Tantasibu Ila al-Islam, DR. Ghalib bin Ali ‘Awaaji, cetakan ketiga tahun 1418H, Dar Lienah,
  • Manhaj al-Imam Maalik Fi Itsbaat al-Aqiedah, Saa’ud bin Abdulaziz al-Da’jaan, cetakan pertama tahun 1416H, Maktabah Ibnu Taimiyah

Catatan Kaki

1 Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tanpa cetakan dan tahun, 10/354
2 Majmu’ Fatawa, 10/356-357
3 Al Ibaanah ‘An al-Syari’at al-Firqat al-Najiyah Wa Mujaanabat al-Furqah al-Madzmumah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, tahqiq Ridha bin Na’saan Mu’thi, cetakan kedua tahun 1415H, Dar al-Raayah 2/889
4 Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, tanpa cetakan dan tahun, al-Maktabah al-Salafiyah 1/112
5 dibawakan al-Lalika’I dalam Syarh Ushul I’tiqaad, dinukil dari al-Muntaqa Min Syarhi Ushul I’tiqaad Ahli as-Sunnah wa al-Jamaa’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur AliMuwaafi, cetakan pertama tahun 1415H, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA hlm 211
6 Al Ibaanah, 2/885
7 Ibid
8 Ibid, 2/886
9 Ibid
10 Manhaj al-Imam Maalik Fi Itsbaat al-Aqiedah, Saa’ud bin Abdulaziz al-Da’jaan, cetakan pertama tahun 1416H, Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm 507
11 dinukil dari kitab Firaq Mu’asharah Tantasibu Ila al-Islam, DR. Gholib bin Ali ‘Awaaji, cetakan ketiga tahun 1418H, Dar Lienah, 2/975-976
12 Al Ibaanah, 2/893.
13 Ibid, 2/899
14 Lihat Silsilah al-Ahadits al-Shohihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cetakan pertama tahun 1417H, Maktabah al-Ma’aarif, Riyaadh, KSA 6/1274
15 Fatwa ini juga ada dalam lampiran pelengkap dalam kitab al-Tibyaan Li’alaqaat al-Amal bimusamma al-Iman, Ali bin Ahmad bin Suyuuf, cetakan pertama tahun 1425H, Maktabat al-’Ulum wa al-Hikam, hlm 282-287.
16 Lihat al-Bid’ah Asbaabha wa Madharuha, Syaikh Mahmud Syaltuut, Tahqiq Syaikh Ali Hasan, cetakan kedua tahun 141H, Dar Ibnu al-Jauzi, hlm 58
17 Ibid, hlm 68
18 lihat al-Muntaqa min Syarhu Ushul I’tiqaad, hlm 215.
19 Lihat Fatwa Lajnah ad-Daa`imah lil Buhuts ‘al-Ilmiyah wa al-Ifta` no. 21436 tanggal 8 Rabi’ ats-Tsani 1421H.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Sabtu, 13 Februari 2010

KERUSAKAN-KERUSAKAN PERINGATAN VALENTINE DAY

Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.


Cikal Bakal Hari Valentine

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”. (Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:
Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

Kerusakan Pertama: Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’). Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103) Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269). Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

Kerusakan Kedua: Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman 

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

Kerusakan Ketiga: Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”. Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

Kerusakan Keempat: Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. (Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah). Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

Kerusakan Kelima: Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

Kerusakan Keenam: Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu. Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain. Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27). Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Kami katakan: “Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Panggang, Gunung Kidul, 12 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
sumber : www.muslim.or.id

Jumat, 12 Februari 2010

Beranda » Curahan Hati 
Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami
8 February 2010 0 Komentar Download PDF 

Ustadz, Saya sedang bimbang, karena orang tua tidak menyukai lelaki pilihan saya, dengan alasan secara fisik tidak pantas bersanding dengan saya. Saya diminta putus padahal sudah 7 tahun saya jalani. Perlu diketahui, pasangan saya bertubuh sangat kurus dan berkulit hitam, namun dia sudah bekerja dan beragama muslim. Apa yg harus saya lakukan ustad?

Terima Kasih.

Seorang Muslimah
Alamat: Surabaya
Email: aldya_xxxxx@yahoo.com


Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. menjawab:

Pertama: Ukhti… Perlu kita ingat kembali bahwa hukum wanita menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan mahrom (pacaran) adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Allah Ta’ala berfirman:

ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة, وساء سبيلا

“Dan janganlah kalian mendekati zina, karena ia merupakan suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk“. (QS. Al-Isra’: 32)

Ayat ini melarang dan mengharamkan kita untuk mendekati zina, apapun bentuknya. Dan diantara bentuk perbuatan mendekati zina adalah pacaran.

Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:

إن الله كتب على ابن آدم حظه من الزنا، أدرك ذلك لا محالة، فزنا العين النظر، وزنا اللسان المنطق، والنفس تمنى وتشتهي، والفرج يصدِّق ذلك كله ويكذِّبه (رواه البخاري 6243, ومسلم 2657)

“Sesungguhnya Alloh mentakdirkan untuk anak adam, bagian zina yang ia pasti akan melakukannya. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah dengan bertutur kata, dan hatinya berangan-angan dan menyenangi sesuatu. Sedang kemaluannya, bisa jadi ia menuruti semua itu, dan bisa juga ia tidak menurutinya”. (HR. Bukhari no.6243, Muslim no.2657)

لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له (رواه الطبراني وصححه الألباني في الصحيحة 226)

“Andai saja kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan penusuk dari besi, itu lebih baik bagi dia, daripada memegang wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabarani, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no: 226)

Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali karena adanya banyak mafsadah di dalamnya, atau mafsadah-nya lebih besar dari pada manfaatnya. Baik mafsadah itu kita rasakan langsung atau tidak.

Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada Alloh dan bertaubatlah, karena Rasul -Shallallahu’alaihi Wasallam- juga bersabda:

كل بني آدم خطاء، وخير الخطائين التوابون (رواه الترمذي 2499, وحسنه الألباني)

“Setiap anak adam itu banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya itu mereka yang banyak taubatnya”. (HR. Tirmidzi: 2499, dan di-hasan-kan oleh Al Albani)

Kedua: Jangan kita lupakan pula, bahwa kita terlahir di dunia, -dari bayi yang tidak tahu apa-apa, hingga dewasa sehingga kaya ilmu-, adalah atas jasa orang tua kita. Oleh karena itulah Islam sangat menekankan masalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan mereka, dan tidak durhaka pada mereka. Bahkan Nabi -Shallallahu’Alaihi Wasallam- bersabda:

رضا الله في رضا الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين

“Keridhaan Allah itu terletak pada keridhaan kedua orang tua, dan (sebaliknya) kemurkaaan Allah (juga) terletak pada kemurkaan kedua orang tua“.

Apalagi, kita juga nantinya akan menjadi orang tua bagi anak-anak kita, bukankah ketika itu, kita juga ingin agar anak kita berbakti pada kita, membahagiakan kita, dan tidak mendurhakai kita?! Jika kita nantinya ingin seperti ini, maka hendaklah sekarang kita melakukannya untuk orang tua kita, karena balasan sesuatu itu sesuai dengan amalan yang kita lakukan. (fal jaza’u min jinsil amal)

Ketiga: Islam sangatlah menghormati wanita, dan melindunginya dari segala sesuatu yang merugikan dan membahayakannya. Oleh karena itulah, ia tidak boleh menikah kecuali dengan izin dari walinya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل

“Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (tidak sah)”

Dan jika bapak anti masih ada, beliaulah yang harus menjadi wali. Maka bagaimana anti akan menikah dengan sah, jika bapak anti tidak mengizinkannya?!

Keempat: Keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam perjalanan hidup anti, dan konsekuensinya akan anti rasakan seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam menghadapi masalah ini. Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan rujukan, yakni orang tua kita. Biasanya mereka lebih jernih dalam melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya keputusan yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.

Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu dari orang tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup kita penuh berkah, tentram, dan bahagia dunia akhirat.

Kelima: Cobalah membayangkan jika anti berada di posisi orang tua, mungkin anti juga akan mengambil langkah yang sama. Karena seringkali orang tua lebih menghargai anaknya, dari pada kita sendiri. Oleh karena itu, mungkin orang tua merasa tidak pantas anaknya mendapatkan orang yang kurang memenuhi standar dalam pandangannya. Disinilah pentingnya komunikasi, tukar pendapat, dan saling memberi informasi.

Keenam: Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu alaihi Wasallam- tentang pentingnya agama calon kita, tentunya orang yang agamanya kuat, lebih kita dahulukan dari pada orang yang agamanya lemah, karena orang yang agamanya kuat, akan lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

Ketujuh: mungkin solusi berikut bisa menjadi pertimbangan anti:
Adakan komunikasi yang lebih baik dan lebih terbuka dengan orang tua.
Jelaskan alasan yang mendasari langkah anti, dan kelebihan yang ada pada pilihan anti.
Jelaskan kerugian yang timbul, jika anti meninggalkan pilihan anti.
Jika satu kesempatan tidak cukup, teruslah komunikasi dalam kesempatan-kesempatan lainnya.
Mungkin orang tua ada pandangan lain, cobalah untuk menjajakinya
Jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Alloh, terutama ketika sujud dalam sholat, dan ketika sepertiga malam terakhir, agar dimudahkan urusan anti, dan diberikan solusi terbaik.
Jangan lupa juga untuk sholat istikhoroh, dan memohon petunjuk Alloh, apakah calon anti itu baik bagi masa depan anti di dunia dan akhirat, atau tidak?… Karena hanya Dia-lah yang maha mengetahui apa yang tersembunyi dari hambanya… Petunjuk dari sholat istikhoroh, tidak harus berupa mimpi, tapi bisa juga dengan perasaan hati, atau yang lainnya.

Pesan terakhir, ingatlah selalu dan jangan sampai lupa, bahwa langkah untuk menikah adalah langkah besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan sampai kita melangkah, kecuali semuanya sudah clear, serta orang tua setuju dan merestui langkah besar ini…

Sekian… Mohon ma’af bila ada kata yang kurang berkenan… Semoga anti bisa tabah dan sabar dalam menghadapi masalah ini… Dan diberikan taufiq oleh Alloh untuk meraih yang terbaik bagi anti, di dunia ini hingga di akhirat nanti… amin.

Dari hamba yang sangat membutuhkan maghfiroh dari-Nya, Musyaffa’ ad-Dariny



Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Selasa, 09 Februari 2010

Beranda » Ushul Fiqih 
Sejarah Ushul Fikih Versi Ahlu sunnah wa al-Jama’ah
15 January 2009 7 Komentar Download PDF 

Ilmu ushul fikih menurut ahlu sunnah wal jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan melalui beberapa tahapan penting.
1. Marhalah Tadwin (kodefikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fikih yang dipelopori oleh imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
2. Marhalah Ittijaah al-Haditsi (ushul fikih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam Al-Khothib al-Baghdadi dan Ibnu Abdilbarr.
3. Marhalah Ishlah dan pelurusan yang tidak benar dalam ilmu ushul fikih yang dipelopori imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim.

Marhalah-marhalah perkembangan ilmu ushul fikih.
1. Marhalah pertama dimulai pada masa imam asy-Syafi’i dan berakhir kurang lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan marhalah ini adalah penulisan kaidah ilmu ushul fikih oleh imam asy-Syafi’i dan keadaan serta kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini.
Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya dua madrasah yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama dengan yang lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di Madinah dengan tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w 179 H) dan kedua adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah para murid Abu Hanifah.

Madrasah hadits dikenal sangat kental dan dekat dengan riwayat, karena kota Madinah adalah tempat berkumpulnya para sahabat dan tempat turunnya wahyu. Sebaliknya madrasah ar-Ra’yi sangat kental nuansa akalnya karena tidak memiliki sebab-sebab riwayat seperti di Madinah, ditambah lagi banyaknya fitnah dan pemalsuan hadits di sana. Yang perlu diperhatikan bahwa kedua madrasah ini sepakat mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan al-Qur`an dan sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber tersebut.

Dalam hal ini imam asy-Syafi’i mampu mengkompromikan kedua madrasah ini dan memperoleh keistimewaan yang dimiliki masing-masing madrasah tersebut. Beliau menyatukan fikih imam Malik di Madinah – yang beliau sendiri adalah murid imam Malik – dan fikih Abu Hanifah di Irak, karena beliau berguru langsung kepada imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w 189 H) ditambah dengan fikih ahli Syam dan Mesir karena beliau pun mengambil ilmu dari para ulama pakar fikih di sana. Ditambah lagi dengan Madrasah Makkah yang memiliki perhatian lebih besar dalam tafsir al-Qur`an dan sebab turunnya. Dimana beliau belajar langsung di Makkah kepada para ulama fikih dan ulama hadits disana hingga mendapatkan kedudukan sebagai mufti. Semua ini didukung dengan kepakaran beliau dalam bahasa Arab yang beliau dapatkan dari pedalaman Arab pada kabilah Hudzail yang termasuk suku terfasih dalam berbahasa Arab. Dengan anugerah besar yang dimiliki inilah –dengan taufiq dari Allah- beliau mampu meletakkan ushul dan kaidah dalam ber-istimbath (pengambilan hukum dari dalil) serta ketentuan berijtihad. Juga beliau mampu menjadikan fikih diambil dari sumber hukum yang jelas dan pasti. Dengan sebab itu beliau membuka pandangan ulama fikih dan memberikan contoh kepada para mujtahid setelah beliau untuk bertindak seperti yang telah beliau lakukan dan menyempurnakan yang ditemui mereka nantinya. Demikianlah imam asy-Syafi’i menulis kitab “ar-Risaalah” yang menjadi kitab pertama dalam ushul fikih.

Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (w 241 H) berkata: Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja hingga Allah bukakan dengan asy-Syafi’i. (lihat Tahdzieb al-Asma’ wa al-Lughaat 1/61)

Beliau juga menyatakan: Dahulu peradilan kami berada di tangan para sahabat Abu Hanifah tidak dapat diganggu gugat hingga kami melihat imam asy-Syafi’i. Beliau orang terpakar dalam al-Qur`an dan sunnah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan ahli hadits tidak akan pernah kenyang dari kitab-kitab asy-Syafi’i. (lihat Muqaddimah kitab ar-Risalah hal. 6 ). Juga berkata: Kalau bukan imam asy-Syafi’i maka kami tidak mengenal fikih hadits.

Imam asy-Syafi’i telah meletakkan pondasi pertama penulisan dan kodefikasi ilmu ushul dan menjelaskan ketentuan ilmu ini serta memperjelas gambarannya.

Imam Syafi’i dalam upaya beliau menyusun ilmu ushul fikih mengikuti jejak langkah orang sebelum beliau dan bersandar kepada al-Qur`an dan sunnah serta siroh para sahabat dan atsar para imam besar. Juga mengambil faedah dari ilmu bahasa Arab dan sejarah manusia, serta penggunaan akal dan qiyas.

Kemudian setelah beliau, bermunculan upaya para ulama ahli sunnah, namun baru berkisar pada permasalahan komitmen dengan Al-Qur`an dan sunnah. Diantaranya adalah:
a. Risalah imam Ahmad tentang ketaatan kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
b. Kitab Akhbaar Ahaad dan kitab al-I’tishom, keduanya bagian dari shohih al-Bukhori.
c. Kitab Ta’wiel Musykil al-Qur`an dan kitab Ta’wiel Mukhtalaf al-Hadits keduanya karya Ibnu Qutaibah.
d. Dan kitab lainnya yang dikarang para ulama salaf lainnya.

Pada marhalah ini kodefikasi ilmu usul fikih telah sempurna melalui karya imam asy-Syafi’i kemudian datang para ulama setelah beliau menyempurnakan upaya yang telah beliau mulai khususnya yang berhubungan dengan komitmen kepada Al-Qur`an dan sunnah. Semua upaya ini merupakan benang merah manhaj ahli sunnah dan kaedah umum dalam ushul fikih versi ahlu sunnah. Marhalah ini memiliki pengaruh besar dan penting bagi para ulama setelah mereka.

2. Marhalah kedua berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a. Imam ahli sunnah ditimur al-Khothib al-Baghdadi penulis kitab Tarikh Baghdad
b. Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin Abdilbarr penulis kitab at-Tamhied.
Al-Khothib al-Baghdadi menulis dalam bidang ushul fikih kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai nasehat kepada ahli hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab ar-Risaalah karya imam asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti permasalahan jidaal dan pembahasan yang berhubungan dengan adab fikih.

Sedangkan Ibnu Abdilbarr menulis kitab Jaami’ Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang beberapa pertanyaan yaitu:
- Pengertian ilmu.
- Pengokohan hujjah dengan ilmu.
- Penjelasan salahnya orang yang berbicara dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
- Larangan memvonis tanpa hujjah.
- Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci dalam adu hujjah dan debat.
- Pemikiran akal mana yang dicela dan mana yang dipuji?
Muncul dalam marhalah ini juga dua kitab yaitu:
- Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu Zaid ad-Dabuusy. Ibnu Kholdun mengomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun metodologi versi madzhab Abu Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak sekali karya tulis dan yang terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu Kholdun hal. 361)
- Kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali. Kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat al-Manaazhir
Marhalah ini memiliki karakteristik banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi dan atsar shohih dari sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat dilihat dari penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya sebatas pada riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istimbath, fikih, penetapan qiyas dan ijtihad serta lainnya.

Marhalah ini merupakan pengembangan dari marhalah sebelumnya yang diwakili dengan kitab ar-Risaalah. Ibnu Abdilbarr dan al-Khothib al-Baghdadi serta Abu Manshur as-Sam’aani sendiri mengambil faedah dari peninggakan asy-Syafi’i. Sedangkan kitab Raudhah an-Naazhir memberikan gambaran baru yang nampak sekali pengaruh manhaj mutakallim (ahli kalam) dengan tetap menjaga konsep dasar manhaj salaf padanya secara umum.

3. Marhalah ketiga yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah. Muncul dalam marhalah ini dua imam yaitu:
a. Ibnu Taimiyah
b. Ibnu al-Qayyim

Marhalah ini memiliki karekteristik yang dibangun diatas dua pokok :
- Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul sesuai manhaj salaf

- Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau.
Pada marhalah ini muncul juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.

Inilah marhalah-marhalah yang dilewati ahlu sunnah dalam perjalanan pembentukan ilmu ushul fikih. Kemudian muncul juga beberpa karya tulis dari sebagian ulama ahli sunnah namun semuanya kembali kepada keterangan yang sudah dibuat dalam marhalah-marhalah diatas. Diantara karya ilmiyah tersebut adalah:
1. المدخل إلى مذهب الإمام أحمد بن حنبل karya syeikh Abdulqadir bin Badraan ad-Dumi ad-Dimasyqi (wafat tahun 1346 H)
2. ”نزهة الخاطر العاطر” شرح كتاب “روضة الناظر وجنة المناظر”، karya beliau juga.
3. ”رسالة لطيفة في أصول الفقه” karya Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat tahun 1376 H)
4. ”وسيلة الحصول إلى مهمات الأصول” karya Haafizh bin Ahmad al-Hakami wafat tahun 1377 H
5. ”مذكرة أصول الفقه على روضة الناظر” karya Muhammad al-Amien asy-Syinqithi (wafat tahun 1393 H). dan lain-lainnya.
Semoga bermanfaat.

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Diringkas dari: Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah

Artikel ustadzkholid.com

Sabtu, 06 Februari 2010

Manhaj SALAFI vs SABILI Oleh : Abu ‘Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc

Lidah memang tak bertulang, sehingga banyak manusia yang berbicara tanpa ilmu, menuduh tanpa dalil dan menulis serta memvonis tanpa berpikir. Itulah Majalah Sabili, pada edisi no.10 tahun XVII desember 2009/23 Dzulhijjah 1430 Sabili memuat beberapa artikel yang berisikan celaan dan tuduhan dusta kepada Dakwah Salafiyyah yang mubarokah ini dan sekaligus berisikan pembelaan terhadap kebathilan dan para pengikutnya. Allah -عزّ و جل- berfirman :

“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali dusta”. (QS.al-Kahf:5)

Maka dengan memohon taufiq dan pertolongan-Nya kami akan berusaha untuk menyingkap sebagian kedustaan dan kebathilannya.

“Agar orang yang binasa itu binasanya karena keterangan yang nyata dan agar orang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula”. (QS.al-Anfaal:42)

Dan diantara penulis artikel tersebut adalah oknum yang belum bertaubat dan belum sadar akan kesesatan serta kejahilannya yang pernah kita bantah dahulu pada edisi 20 (Majalah Aaz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah) Yaitu Kyai Al-Jaidi (Majalah Mabadi’ edisi 4 tahun 2/2006). Mari kita simak kerancuan, kebodohan dan kebathilan sang Kyai serta Sabili :

1. Kebodohan Sang Kyai tentang Dakwah Salafiyah

Dia Mengatakan (hal.20) :”Kelompok yang mengkalim bernama salafi muncul sekitar tahun 1986″.

Perlu diketahui bersama bahwa Salafiyah bukanlah suatu gerakan/partai/golongan yang serupa dengan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau Jama’ah Tabligh atau NII yang didirikan beberapa puluh tahun yang lalu oleh pemimpin-pemimpin besarnya seperti Hasan Al-Banna, Taqiyuddin An-Nabhani, Muhammad Illyas dan Kartosuwiryo. Dakwah Salafiyah adalah nisbah/menisbatkan diri kepada manhaj/metode salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dan bukan aliran baru dalam Islam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- berkata :

“Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib untuk menerima hal tersebut menurut kesepakatan, karena tidaklah madzhab salaf itu kecuali benar” [Majmu' Fatawa 4/149].

Salafiyah adalah silsilah dakwah para salaf, pemegang tongkat estafet dakwah mereka. Salafiyah selalu berusaha mewujudkan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- dalam hadits Firqotun Najiyah :

“Yang mengikuti aku dan para sahabatku” (HR.Tirmidzi dengan sanad yang hasan)

Salafiyah merupakan perwujudan dari anjuran ulama salaf, diantaranya Imam Al-’Auzai -رحمه الله- yang berkata :

“Bersabarlah diatas sunnah, berhentilah kemana (para salaf) berhenti, katakan dengan apa yang mereka katakan dan cegahlah dari apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush sholeh karena akan mencukupimu apa yang mencukupi mereka”. (“Asy-Syari’ah ” oleh Al-Ajury” hal 58)

Lebih dari itu Salafiyah adalah pengikut setia para salaf yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya :

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS At-Taubah 100)

Manhaj Salaf (dakwah Salafiyah) adalah manhaj yang benar karena dia berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para salafush sholeh. Inilah yang harus kita katakan seperti yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -رحمه الله- diatas. Adapun pribadi orang yang menisbatkan kepada manhaj ini maka kita katakan :

“Setiap manusia itu pernah bersalah dan sebaikbaiknya orang yang salah adalah yang bertaubat”(HSR.Ibnu Majah)

Dan kita katakan seperti yang dikatakan oleh Imam Malik -رحمه الله- : “Tidak ada seorangpun setelah Nabi melainkan diambil ucapannya atau ditolak”.

2. Kebodohan sang Kyai terhadap fakta


Dia mengatakan (hal.20) : “Maka, perbedaan yang ada sejak 1800-an, 1900-an adalah bersifat khilafiyah yang bukan bersifat ushul atau perbedaan pada cabang saja…”.

Ternyata sang Kyai buta akan fakta dan sejarah yang ada. Ataukah sang Kyai masih dalam alam mimpi dan dunia khayalan?! ataukah sang Kyai jahil tentang makna ushul atau cabang agama ?. Umat berpecah belah dan berbeda bukan dalam masalah cabang saja sejak sepeninggal Rasul hingga sekarang dan sampai akhir zaman nanti. Pada tahun 1800-an, 1900-an apakah tidak ada umat yang menyembah kuburan, meminta atau bertawassul kepada wali-wali yang telah mati? Wahai pak Kyai, apakah ini masalah cabang ataukah ushul ? Tidakkah ada diantara umat yang berbuat Bid’ah pada waktu itu ? Tidakkah anda membaca kitab-kitab pendiri kalian (Syaikh Ahmad Surkati) yang sangat keras dan tegas terhadap masalah syirik dan bid’ah, seperti tahlilan, talqin diatas kubur dan lain-lain?”(1) Sungguh jauh sikap kalian yang amat plin-plan dengan sikap pendiri kalian, apalagi sikap ulama salaf.

Pak Kyai mengatakan (hal.25) : “Yang sekolah di Madinah, ketika pulang masih bersedia ikut maulid dan tahlil.”

Darimana pak Kyai membuat kesimpulan seperti itu?! Sedangkan saya dan teman-teman yang -alhamdulillah- lulusan Universitas Islam Madinah sangat benci kepada acara-acara Bid’ah tersebut. Kalau bicara dipikir dulu, pak Kyai? Jangan Asbun (Asal bunyi).

3. Kebodohan sang Kyai terhadap makna Sunnah.


Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sehingga mereka selalu mengatakan ihya sunnah. Bukannya tidak baik, bagaimana kita menghidupkan sunnah Rasulullah . Tetapi banyak kewajiban yang kita lupakan, misalnya perintah Allah agar bersaudara, saling menghormati, memberikan salam. Ini semua perintah Allah untuk menyambung silaturahim, bukan hanya sunnah.”

Ketika Dakwah Salafiyah mengatakan “Ihya Sunnah” itu maksudnya menghidupkan kembali metode hidup Rasulullah baik yang hukumnya wajib atau mustahab. Karena kata-kata “as-Sunnah” jika di mutlakkan bisa berarti 4 makna :

[a]. Segala sesuatu yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
[b]. Sinonim “al-Hadits”, jika digandengkan dengan kata-kata “al-Qur’an”.
[c]. Antonim Bid’ah.
[d]. Mustahab (Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa).”(2)

4. Kebodohan pak Kyai tentang makna hadits


Pak Kyai mengatakan : “…Sebabnya hanya masalah khilafiyah seperti tidak pakai jenggot, isbal, tidak ada dua titik hitam di kening. Orang yang seperti ini dianggap bukan ikhwan mereka. Padahal Nabi mengatakan, Allah tidak melihat pada penampilan kamu, rupa kamu, tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu. Ini yang seharusnya menjadi acuan kita.”

Adapun masalah jenggot maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Tipiskan kumis-kumis dan panjangkan jenggot-jenggot, selisihilah kaum Majusi.” (HR. Muslim)

Dan tentang isbal maka beliau -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Apa yang turun dari kain sarung (yang menutupi) kedua mata kaki maka tempatnya di Neraka” (HR. Bukhari)

Ini bagi yang tidak sombong ancamannya neraka, adapun yang sombong maka Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- bersabda :

“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kain sarungnya (hingga menutupi mata kaki) dengan sombong pada hari kiamat” (HR.Bukhari dan Muslim)

Bahkan al-Khalifah ar-Raasyid, Amiirul Mu’miniin Umar bin Khattab -رضي الله عنه-ketika dalam keadaan kritis setelah ditusuk oleh Abu Lu’lu’ al-Najusi, beliau masih menyempatkan diri untuk menasehati seorang pemuda yang datang kepada beliau dengan pakaian yang sampaii menyentuh tanah :

“Wahai Anak saudaraku, angkat pakaianmu, karena itu lebih bersih untuk pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu” (HR.Bukhari)

Inilah diantara sunnah Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- yang selalu dihidupkan oleh Dakwah Salafiyah dan ingin dimatikan oleh sebagian orang-orang jahil dengan alasan khilafiyah. Dan lebih parah lagi Pak Kyai berdalil dengan hadits yang sebetulnya merupakan boomerang baginya. Karena hadits tersebut menyebutkan : “…tapi Allah melihat pada hati kamu dan amal shalih kamu”. Di antara amal shalih adalah mengikuti perintah Rasululllah -صلى الله عليه و سلم- (memelihara jenggot dan menaikkan kain sarung atau celana di atas mata kaki) Tapi itulah kebodohan yang membuat pelakuanya terkadang tidak sadar akan kebodohannya.

Kalau hadits ini bisa dijadikan dalil bagi yang tidak berjenggot dan isbal, maka bagaimana menurut pak Kyai jika ada wanita tidak berjilbab atau laki-laki yang telanjang bulat berdalil dengannya?! Kalau pak Kyai belum bisa mengamalkan perintah Rasulullah ini, maka perbanyaklah istighfar dan berusaha untuk menjalankannya. Jangan banyak alasan, nanti semakin ketahuan kebodohan pak Kyai dan malah bertumpuk dosa karena melegalkan kesalahan serta mengotak-atik dalil bukan pada tempatnya.

Kalau salafi menganggap yang tidak berjenggot itu bukan ikhwan mereka, mungkin itu ada benarnya juga. Karena yang namanya ikhwan (kaum pria) itu cirinya kan berjenggot ?! Kalau akhwat (kaum wanita) tentu nggak berjenggot, demikian pula banci.(3)

Adapun masalah dua titik di kening, darimana pak Kyai dapatkan? Coba di majalah atau buku salafi yang mana ?

5. Kontradiksi dalam ucapan pak Kyai


Pak Kyai berkata (hal.20) : “Sesungguhnya dulu tidak ada pemahaman salafi, yang ada hanya empat madzhab imam bin Hambal, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi.”

Sedangkan sebelumnya pak Kyai mengatakan: “Jadi, nama Salafi hanya menjadi nama sekolah atau buku-buku yang ditulis para imam terdahulu yang sangat menjiwai pemahaman para salafushalih”. Dan di hal.(51) pak Kyai mengatakan: “Sepanjang pengamatan saya, kelompok salafi ini mengadopsi secara utuh madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.”

Beginilah keadaan orang tidak paham akan apa yang dia katakan.

6. Tuduhan Dusta dan Prasangka-prasangka buruk sang Kyai.


Pak Kyai mengatakan hal.(22): “Karenanya, saya menduga bahwa gerakan ini memiliki kaitan dengan kekuatan diluar islam untuk mengadu domba kaum Muslimin.” Dan pada hal.(23) dia mengatakan: “Saya katakan, apakah ada indikasi gerakan ini merupakan bagian dari gerakan zionis? Gerakan diluar islam? Jika Iya lantas bentuknya seperti apa? ini baru indikasi, saya belum bisa memastikannya”. Dan pada halaman yang sama dia juga berkata: “Makanya, saya menduga gerakan ini merupakan bagian dari operasi intelijen.”

Apakah ini akhlak Kyai (pertama) di Al-Irsyad? Menuduh tanpa bukti, berkata tanpa ilmu dan berdusta tanpa takut dosa serta adzab. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun…. Semoga Allah memberi adzab kepada para pendusta umat ini.

Tidakkah pak Kyai ingat firman Allah -سبحانه و تعالى- :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa”. (QS.al-Hujurat:12)

Dan sabda Nabi -صلى الله عليه و سلم- :

“Hati-hatilah kalian dari berprasangka (buruk), karena prasangka tersebut adalah sedusta-dustanya ucapan”. (HR.Bukhari dan Muslim).

Dan beliau -صلى الله عليه و سلم- juga bersabda :

“Tidaklah manusia ditelungkupkan wajahnya di dalam api neraka melainkan karena ucapan lisannya”. (HR.Tirmidzi)

Pak Kyai pada hal.(24) berkata: “Apalagi, dari pengamatan kami, gerakan mereka terselubung, doktrin yang ditanamkan pada jamaah sangat tertutup dan ekslusif”.

Saya tidak habis pikir, bagaimana sistem pengamatan pak Kyai? Majalah kita tersebar dimana-mana, ma’had-ma’had Dakwah Salafiyah berdiri di banyak daerah, demikian pula dengan majlis ilmu kita, pintu kita selalu terbuka bagi orang yang masih punya hati tuk melihat.

Allah -سبحانه و تعالى- berfirman :

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang didalam dada”. (QS.al-Hajj:46)

” Kebenaran itu bak mentari dan mata-mata ini memandangnya,
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta “

Pak Kyai berkata hal.(24): “Jadi, kepada sesama Muslim saja mereka ekstrim, bagaimana mereka berurusan dengan orang yang bukan islam. Akan lebih “garang” lagi. Inilah yang bisa menimbulkan terorisme.”

Insya Allah setiap orang yang mengenal Dakwah Salafiyah tahu bahwa Dakwah Salafiyah sangat anti dengan terorisme. Alhamdulillah, beberapa kali majalah kita adz-Dzakhiirah memuat makalah tentang bantahan kepada terorisme.4) Dan -insya Allah- pada edisi-edisi mendatang kita juga akan menjelaskan tentang gembong teroris pada abad ini.

Pak Kyai berkata hal.(25): “Disini,saya melihat, hilangya faktor keikhlasan dalam berdakwah, karena ada unsur kepentingan yakni kepentinga kelompok (hizbiyah). Karenanya, Al-Irsyad Al-Islamiyah paling terkena dampaknya, karena mereka menyerang ideologis”

Apa pak Kyai tahu hal ghaib ?!
Apa pak Kyai punya ilmu kasyf ?!
Apa pak Kyai tahu hati manusia ?!

Justru yang perlu dipertanyakan adalah tentang keikhlasan pak Kyai, karena dari dulu yang dibicarakan tidak keluar dari dana bantuan luar negeri.

Apa karena bapak nggak dapat jatah, hingga membabi buta?!
Sungguh ironis dan menyedihkan…

Kemudian siapakah yang hizbiyah?! Pak Kyai ataukah Salafi?! Dari dulu pak Kyai selalu mengedepankan Al-Irsyad, ber-wala’ dan ber-baro’ karena Al-Irsyad (seperti dalam hal.21,25,32). inilah yang sebetulnya dikatakan hizbiyah (fanatik golongan), mengapa anda tidak sadar?!

Siapa yang mengklaim dirinya paling benar?!

Sabili sebagai fans berat kelompok Ikhwanul Muslimin lupa atau pura-pura lupa atau bodoh atau pura-pura bodoh bahwa sesepuh merekalah para penyeru fanatik golongan yang mengklaim pemahamannya paling benar, mau bukti? Inilah buktinya :

[a]. Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin) berkata: “Sesungguhnya yang aku maksud dengan pemahaman disini adalah engkau meyakini bahwa pemikiran-pemikiran kita adalah islam yang benar dan engkau harus memahami islam ini sesuai dengan apa yang kami pahami…” (Majmu’atu Rasaail al-Imam asy-Syahiid hal.363)

[b]. Sa’id Hawa dalam kitabnya Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim (hal.29) berkata : “Rumah tangga muslim yang sempurna adalah yang berpegang teguh dengan mabaadi’ (ajaran-ajaran) al-Ikhwanul Muslimun, karena itulah kesempurnaan islam kontemporer. Oleh karenanya, al-Ustadz al-Banna menjadikan kewajiban seorang pergerakan adalah mewajibkan rumah tangga dengan mabaadi’ al-Ikhwanul Muslimun.”

[c]. Sa’id Hawa juga berkata: “Sesungguhnya jama’ah al-Ikhwan (al-Muslimun) itulah yang selayaknya seorang muslim meletakkan tangannya diatas tangan al-Ikhwan”. (al-Madkhal ila Jama’atil Ikhwan al-muslimin hal.29-30)

[d]. Dia juga berkata: “oleh karenanya, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ketinggalan dari dakwah ini.” (Fi Aafaaqi at-Ta’aaliim 16)

[e]. Dia juga berkata: “Jika keadaan jama’ah (al-Ikhwan al-muslimun) seperti ini, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk keluar darinya…” (Min Ajli Khuthwatin ila al-Imam hal.40)

[f]. Dia juga berkata : “Tidak ada di hadapan kaum muslimin kecuali pemikiran ustadz al-Banna jika mereka ingin jalan yang benar”. (Fil Aafaaqit Ta’aaliim hal.5 oleh Said Hawa)

Sabili di hal.(27) berkata: “Tapi ketika Salafi menjadi identitas suatu kelompok, mereka menebar fitnah, menyerang sesama muslim seputar fiqih”. Dan pada hal.(29) Sabili berkata: “Salafi yang merasa dirinya paling benar, sering menuduh tanpa bukti, bedusta atas nama para ulama dan sebagainya”

Sabili memang jago memutar balikkan fakta. Insya Allah orang yang berakal sehat dan didalam hatinya ada cahaya kebenaran dan ketaqwaan pasti tahu siapa yang menyebar fitnah, sering menuduh tanpa bukti dan berdusta. Apa yang telah kami tulis di atas -insya Allah- sebagai bukti bahwa sabili adalah pendusta penebar fitnah. Demikian pula yang akan disebut dibawah ini.

Apakah ketika kita membongkar kedok Hasan al-Banna yang tenggelam dalam kesufiannya itu masalah fiqih?! Ketika Dakwah Salafiyah menunjukkan hakikat Sayyid Quthb yang mencela para sahabat bahkan mencela seorang Nabi dan seabrek kesesatanyya itu dikatakan masalah fiqih? Jangan kalian membuat fitnah (provokator).

Sabili mengatakan hal.(30) : “Tak hanya itu, Hasan al-Banna kerap disebut sebagai pelaku bid’ah yang berakhir di neraka. Sayyid Quthb disebut pembawa ajaran sesat.”

Adapun Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb, maka memang kita yakini sebagai pelaku kebid’ahan dan pembawa kesesatan karena bukti-buktinya sangat amat kuat. Tidak percaya?! Lihat adz-Dzakhiirah edisi 21 dan 24, Semoga Allah membuka mata hati anda. Masak orang yang membawa setumpuk ajaran sesat kita katakan benar, apakah ini keadilan?!

Akan tetapi ucapan Sabili “…yang akan berakhir di neraka”, coba darimana kalian dapatkan, coba buktikan kalau kalian memang tidak berdusta?! Diantara prinsip Dakwah Salafiyah adalah tidak memvonis manusia dengan surga atau neraka atau syahid bagi individu tertentu kecuali kalau ada dalil khusus tentangnya.

Sabili mengatakan hal.50 dan 51: “Kelompok Salafi ini juga saling menyesatkan bahkan tak sungkan saling mengkafirkan satu sama lain…. Bahkan yang paling ekstrem, mereka tak sungkan berani mengkafirkan sesama muslim dalam soal yang dinilai umat islam yang lain sebagai hal yang bukan prinsip…”

Wahai Sabili, jika engkau bukan pendusta ulung, sebutkan kepada kami bukti tentang pengkafiran salafi seperti yang engkau sebut ini ?! Salafi adalah orang yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan seorang muslim bukan seperti Sayyid Quthb CS yang mengobral murah vonis kafir kepada kaum muslimin.(5)

Adapun celotehan kalian untuk menyudutkan Dakwah Salafiyah dikarenakan banyak manusia yang menolak Dakwah Salafiyah maka ini adalah hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Karena memang Dakwah Salafiyah adalag ghuraba’ (asing), sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah -صلى الله عليه و سلم- :

“Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali dalam keadaan keterasingan seperti awal mulanya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR.Muslim)

Dan suara mayoritas manusia bukanlah hujjah dalam islam. Allah berfirman :

“Dan jika kamu menuruti kebanyak orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS.al-An’aam:116)

Demikianlah yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan sebagai obat penawar bagi yang terkena virus syubhat majalah Sabili dan semoga sebagai penguat bagi mereka yang berada diatas manhaj Salafi.

***
@1431 Copyright adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah STAI ALI BIN ABI THALIB Surabaya
_____________

1. Lihat majalah adz-Dzakhiirah juz 1 Muharram 1342H/1921 m Oleh Syaikh Ahmad Surkati yang telah kami terjemahkan dalam adz-Dzakhiirah kita edisi 14 tahun 3 Rabiuts Tsani 1426H/Juni 2005M
2. Lihat kitab al-Hatstsu ‘Alaa ittiba’ as-Sunnah hal.17-19 oleh Syaikh ‘Abdul muhsin al-’Abbad -حفظه الله-
3. Abu Hamid al-Ghozali — berkata: “Dengannya -yakni jenggot- dapat dibedakan antara laki-laki dan wanita.” (Ihya’ Ulum ad-Din,2/257)
4. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 6,11,17, dan 56.
5. Lihat adz-Dzakhiirah edisi 24 tentang kesesatan Sayyid Quthb.


Selasa, 02 Februari 2010

Manhaj Bid’ahkah Pengumpulan Al Qur’an?

Bolehkah pengumpulan Al Quran oleh Sahabat dianggapkan Bidah?

Mansor Deen
Alamat: Selangor, Msalaysia
Email: abuhaxxxx@gmail.com

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc menjawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Tidak boleh. Sebab sebenarnya pengumpulan Al Qur’an sudah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam namun dilakukan dengan cara dihafal dalam dada para sahabat. Setelah perang Yamamah yang berakibat terbunuhnya banyak penghafal Al-Qur’an,Khalifah Abu Bakar Radhiallahu’anhu berfikir untuk mengumpulkannya dalam satu mushhaf yang mempermudah kaum muslimin untuk menjaga dan menghafalnya. Sehingga hal ini masuk dalam mashlahat mursalah.

Kemudian adanya ijma’ sahabat ketika itu adalah hujjah bahwa pengumpulan mush-haf adalah haq dan sesuai syari’at, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

لا تجتمع هذه الأمة على ضلا

“Umat ini tidak akan bersepakat diatas kesalahan” (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)

Dengan demikian pengumpulan mush-haf disyari’atkan dgn ijma’ shahabat yang didasarkan kepada persetujuan Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam dalam penulisan Al-Qur’an di masa beliau dan banyak sahabat yang ikut menyimpan tulisannya di rumah mereka dan dihafal di dada mereka.
Beranda » Ushul Fiqih 
Ijma Sumber Hukum Islam
24 January 2010 0 Komentar Download PDF 

Dewasa ini kaum muslimin banyak belum mengerti dan memahami hakekat sumber hukum yang menjadi rujukannya dalam beragama. Ironisnya pernyataan sumber hukum Islam adalah al-Qur`an dan sunnah serta Ijma’dan Qiyas merupakan hal yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakekatnya sehingga banyak para da’I dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.

Padahal sudah sangat jelas kedudukan Ijma’ dalam agama ini, karena ijma’ adalah salah satu dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini setelah Al Qur`an dan Sunnah. Ijma’ bersumber dari Al Qur`an dan Sunnah, menjadi penguat kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada diantara manusia dalam semua perselisihan mereka.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh amalan dan perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama dengan ketiga sumber hokum ini”. (lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Mushlih hal. 203)

Ijma’ menjadi sesuatu yang ma’shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam. lihatlah firman Allah:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali“. (QS. An-Nisaa’ 4:115)

dan sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :

لا تجتمع هذه الأمة على ض

“Umatku tidak akan berkumpul (sepakat) diatas kesesatan”. (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)

Karenanya Syaikhul Islam menyatakan: “Agama kaum muslimin dibangun diatas ittiba’ kepada al-Qur`an dan Sunnah Rasululloh serta kesepakatan umat (ijma’). Maka ketiga ini adalah sumber hukum yang ma’shum”. (lihat Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, 1/272).

Demikianlah Allah Ta’ala menyatukan hati umat ini dengan Ijma’ sebagai rahmat dan karunia dariNya. Ijma’ umat ini dalam mayoritas dasar dan pokok agama dan banyak dari masalah furu’nya menjadi sebab kesatuan kaum muslimin, penyempitan lingkaran perselisihan dan pemutus perbedaan pendapat diantara orang yang berbeda pendapat.

Oleh karena itu,wajib bagi orang yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui ijma’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama agar dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syari’at serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui ijma’ tersebut.

Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama. Bahkan bisa menjadi sebab vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu.

Karena itulah para ulama juga telah memperhatikan hal ini secara sempurna, tinggal kita semua kembali merujuk kepada keterangan mereka tentang ijma’ yang benar.

Semoga dengan kita menimbang semua amalan perbuatan yang berhubungan dengan agama kepada ketiga sumber diatas kaum muslimin dapat bersatu. Amien.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
Beranda » Manhaj 
Rintangan Dakwah
31 December 2009 4 Komentar Download PDF 

Gema dakwah jahriyah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap kerabat dekat beliau terus menggema di seantero kota Makkah hingga turun firman Allah:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (QS. Al Hijr: 94)

Kemudian Rasululloh menyingsingkan lengan bajunya untuk menyampaikan kebenaran kepada seluruh penduduk Makkah. Beliau mengajak manusia meninggalkan penyembahan berhala dan semua jenis paganisme yang sudah mengakar pada mereka. Disamping juga menyampaikan hakikat Islam dan membantah aqidah-aqidah batil yang sudah mencengkram akal para penduduk Makkah.

Ketika itulah kaum Quraisy melihat pengaruh dakwah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ini tidak terbatas, tidak sebagaimana keadaan orang terdahulu yang telah mengajak meninggalkan paganisme seperti Zaid bin Nufail dan semisalnya.

Oleh karena itu mereka bangkit menghadang dakwah dan mengambil beraneka ragam cara dan sarana untuk menghadang dakwah yang mereka anggap mengancam kemaslahatan mereka. Dakwah yang mereka anggap akan menghancurkan harga diri dan ambisi serta kedudukan mereka ditanah haram.

Diantara cara dan sarana terpenting yang mereka gunakan untuk menghadang dakwah mulia ini adalah:

1. Berusaha mempengaruhi Abu Thalib untuk menghentikan dakwah Rasulullah atau menghentikan perlinduangan beliau terhadap Rasulullah. 

Dikisahkan bahwa sejumlah tokoh terkemuka Quraisy mendatangi Abu Thalib dan menyatakan: Sungguh keponakanmu telah mencaci maki tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, menuduh pikiran kita bodoh dan memvonis nenek moyang kita sesat. Pilih kamu menghentikannya atau kamu biarkan (tidak turut campur) antara kami dan dia. Karena kamu dan kami sama-sama menyelisihinya, maka kami cukupkan kamu untuk menghentikannya. Lalu Abu Thalib menyampaikan kepada mereka ungkapan yang lembut dan menolaknya dengan halus.[1]

2. Ancaman keras kepada Rasulullah dan Abu Thalib

Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap berkeras tidak menghentikan dakwahnya dan Abu Thalib pun tidak melepas perlindungannya, maka kaum Quraisy mengambil cara lain untuk menghentikan dakwah beliau; yaitu dengan ancaman. Oleh karena itulah Abu Thalib akhirnya menyampaikan kepada Rasululloh keinginannya agar beliau menghentikan dakwahnya terlebih dahulu. Namun Rasulullah tetap menolaknya. Diriwayatkan Ibnu Ishaaq, Al Bukhari dalam kitan tarikhnya dan Al Baihaqi dengan sanad hasan dari hadits Aqiel bin Abi Thalib bahwa Abu Thalib mengutusnya memanggil Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, setelah sampai maka Abu Thalib berkata kepadanya:

“Sungguh bani pamanmu (Quraisy) telah menyatakan bahwa kamu menyakiti mereka di tempat pertemuan dan masjid mereka. Berhentilah dari menyakiti mereka!”. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendongakkan pandangannya kelangit sambil berkata: “Apakah kalian melihat matahari itu?” Mereka menjawab: “Ya”. Beliau berkata lagi: “Tidaklah aku lebih mampu meninggalkan hal itu (dakwah islam (pen)) dari kalian walaupun kalian dapat mengambil dari matahari tersebut cahaya“. Maka Abu Tholib pun menyatakan: “Demi Allah! keponakanku tidak berdusta, maka kembalilah kalian!”.[2]

Demikian juga terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam langsung sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dan Al Bukhori serta At Tirmidzi dari Ibnu Abas Radhiallahu’anhu :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ أَبُو جَهْلٍ لَئِنْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أَطَأَ عَلَى عُنُقِهِ قَالَ فَقَالَ لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا

“Beliau berkata: Abu Jahal pernah berkata: Seandainya aku melihat Rasululoh n sholat di Ka’bah tentu aku akan mendatanginya hingga menginjak lehernya. Ibnu Abas berkata: Lalu Rasululloh n bersabda: Seandainya ia berbuat tentulah para malaikat akan menyiksanya secara terang-terangan“.[3]

3. Tuduhan batil untuk menjauhkan manusia dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. 

Diantara tuduhan tersebut adalah:
a. Tuduhan beliau gila

Sebagaimana Firman Allah:

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

“Mereka berkata:”Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila” (QS. Al Hijr 15:6)
lalu Allah bantah dengan firmanNya:

مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ

“Berkat nikmat Rabbmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila” (QS. Al Qalam 68:2)

Demikian juga dijelaskan tuduhan mereka ini dalam firmanNya yang lain:

وَإِنْ يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

“Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al-Qur’an dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila’ “. (QS. Al Qalam 68: 51)

b. Mereka menuduh Rasulullah sebagai tukang Sihir atau terkena sihir. 

Dalam hal ini Allah jelaskan dalam firman-Nya:

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata :”ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta“. (QS. Shaad 38:4)

dan firmanNya:

أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزٌ أَوْ تَكُونُ لَهُ جَنَّةٌ يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّالِمُونَ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا رَجُلا مَسْحُورًا

“Dan orang-orang yang zalim itu berkata:”Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.” (QS. Al Furqan 25:8)

c. Tuduhan berbuat Dusta 

Seperti dijelaskan dalam firmanNya:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا

“Dan orang-orang kafir berkata:”al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar” (QS. Al Furqan 25:4)

d. Membawa dongengan-dongengan orang-orang terdahulu. 

Ini dijelaskan Allah dalam firmanNya:

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلَى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَأَصِيلا

“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang“. (QS. Al Furqan 25:5)

e. Menuduh bahwa Al Qur’an bukan dari Allah namun berasal dari manusia 

Seperti digambarkan Allah dalam firmanNya:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” (QS. 16:103)

Demikianlah sebagian cara dan sarana yang digunakan kaum musyrikin Quraisy dalam menghalangi dakwah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Masih banyak lagi cara dan sarana yang digunakan mereka yang insya Allah akan dipaparkan pada tulisan lain.

Wabillahi At Taufiq

[1] Riwayat ini disampaikan Ibnu Hisyam dari riwayat Ibnu Ishaq tanpa sanad periwayatan. Sehingga riwayat ini lemah walaupun masyhur dalam buku-buku sejarah Nabi.

[2] Syaikh Al Albani dalam kitab Shahih Al Sirah Al Nabawiyah hal 143 menyatakan: “Hadits ini telah dikeluarkan Al Haakim dalam Al Mustadrak 3/577 dari sisi lain yang tidak sama dengan riwayat Al Baihaqi ini. Dan poros sanadnya ada pada Tholhah bin Yahya dari Musa bin Tholhah dari Aqiel. Sanadnya hasan sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Al Shohihah 92. adapun hadits yang berbunyi: Wahai pamanku! Seandainya mereka meletakkan matahari ditangan kananku…. Tidak aku sampaikan disini kerena lemah walaupun sangat masyhur. Tentang lafadz ini telah dijelaskan dalam kitab Al Dhoifah 913″.

[3] Al Musnad 1/368 dan Al Bukhari 4958 dan Al Tirmidzi 3406.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com