Jumat, 03 April 2009

Menjama’ Antara Dua Shalat Karena Hujan (2/3)
Posted on October 11th, 2006 by admin

(red. vbaitullah.or.id): Jika telah kita ketahui perbedaan pendapat di antara para ulama', pada bagian kedia akan dibahas jawaban / bantahan terhadap pendapat yang lemah, sekaligus menjelaskan pendapat yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat tersebut. 

 
2 Bantahan Atas Pendapat Yang Lemah 

 
Sebagaimana yang telah lalu, madzhab Hanafi dan yang sependapat dengannya menganggap tidak disyari'atkan menjamak antara dua shalat baik ketika safar ataupun bukan safar. Ini terbantah dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa Nabi suatu ketika menjamak antara dua shalat sebagaimana dalam hadits ini: 

 

Dari Anas berkata, "Rasulullah, apabila memulai perjalanan safarnya sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zhuhur sampai waktu Ashar, kemudian beliau turun (dari kendaraannya) untuk menjamak antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar). Dan apabila tergelincir matahari sedangkan beliau belum memulai perjalanannya, maka beliau melaksanakan shalat Zhuhur kemudian naik kendaraan- nya."14 

Dan masih banyak lagi dalil- dalil shahih yang menjelaskan Nabi menjamak antara dua shalat karena udzur safar sebagaimana dinyatakan oleh Imam Baihaqi bahwa itu termasuk perkara yang masyhur dan diamalkan oleh para sahabat Nabi, para tabi'in, dan seterusnya.15 

Adapun dalil mereka dengan hadits Jibril yang mengimami Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada awal dan akhir waktu shalat, maka sebenarnya ini tidak tepat untuk menjadi dalil dilarangnya menjamak antara dua shalat. Karena hadits ini datang pada awal Islam dan sifatnya umum, kemudian dikhususkan dengan dalil-dalil yang datang setelahnya, ditambah pula kesepakatan kaum muslimin atas disyari'atkannya menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar di Arafah, dan antara Maghrib dengan Isya' di Muzdalifah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Baihaqi juga.16 

Sedangkan dalil mereka dengan hadits Ibnu Mas'ud yang menyatakan tidak pernah melihat Rasulullah menjamak shalat kecuali dua kali saja (di Arafah dan Muzdalifah), maka ini telah dibantah oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani. Beliau menyatakan, 

 

"Telah sah (hadits-hadits) Nabi tentang menjamak antara dua shalat dari hadits riwayat Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan yang lainnya." 

Dan beliau menegaskan suatu kaidah ushul hadits yang harus diterapkan dalam masalah ini, 

 

"Bahwasanya orang yang hafal adalah sebagai hujjah atas orang yang tidak hafal."17 

Maksudnya, apabila ada seorang perawi yang hafalannya bagus meriwayatkan hadits yang redaksinya lebih dari yang lainnya, maka ini satu tambahan ilmu yang harus diterima. 

Adapun perkataan mereka bahwa yang pernah dilakukan Nabi adalah jamak shuri, maka ini terbantah oleh nash hadits itu sendiri, karena lafazh haditsnya jelas jelas mengatakan "menjamak", dan tidak ada satu riwayat pun - Wallohu A'lam- yang menyatakan bahwa Nabi mengakhirkan waktu yang pertama dan mengawalkan waktu yang kedua.18 Dan ini merupakan penafsiran yang mengada-ada serta menyelisihi zhahir hadits. 

 
Imam Malik berdalil bahwa hadits Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi menjamak antara dua shalat di Madinah bukan karena takut (musuh) dan bukan karena safar dengan menafsirkan bahwa Nabi menjamak oleh sebab hujan, hal ini telah dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan, 

 

"Sesungguhnya Rasulullah, menjamak antara dua shalat sebagaimana riwayat Ibnu Abbas bukan karena hujan. Dan perkataan Ibnu Abbas 'Rasulullah menjamak di Madinah', ini menunjukkan bahwa Nabi tidak sedang safar. Maka perkataan 'Nabi menjamak di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena hujan' (sebagaimana dalam satu riwayat) lebih utama dari pada perkataan 'Nabi menjamak di Madinah bukan karena takut dan bukan karena safar'"19 

 
3 Pendapat Yang Kuat 

Setelah kita mengetahui perbedaan para ulama dalam hal ini, dan secara umum jumhur ulama (kecuali madzhab Hanafi dan ahli kalam) bersepakat dibolehkannya menjamak antara dua shalat karena hujan, hanya saja mereka berbeda dalam perinciannya. Serta pendapat yang kuat -Wallohu A'lam dibolehkannya menjamak antara dua shalat sebab hujan yang dapat menyulitkan orang-orang keluar berulang kali ke masjid, karena hujan sebagaimana halnya safar, adalah alasan syar'i yang membolehkan menjamak antara dua shalat. Dari sini, kita mengetahui bahwa hujan gerimis yang tidak menyulitkan orang-orang dan tidak membasahi baju maupun badan mereka, bukanlah alasan syar'i untuk menjamak antara dua shalat, karena alasan dibolehkan menjamak sebab hujan adalah kesulitan. Padahal dalam hujan rintik-rintik (gerimis) tidaklah terdapat kesulitan di dalamnya.20 

Apabila tidak ada kesulitan yang timbul dari hujan itu, dan tidak menghalangi orang-orang dari aktivitas mereka pergi ke pasar misalnya, maka hujan seperti ini tidak membolehkan manusia menjamak antara dua shalat. Karena ada sebuah kaidah "Ada dan tidaknya hukum itu berjalan bersama illat (sebab dan alasan)nya". 

Adapun menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar dengan sebab hujan, jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidak disyari'atkan. Alasannya, faktor kesulit- annya jauh lebih ringan dibanding hujan di malam hari, sedang asal hukum dari semua ibadah adalah dilarang kecuali ada dalil yang sah, dan juga tidak adanya dalil yang menyatakan bolehnya menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar oleh sebab hujan. 

 
4 Fatwa Ulama Seputar Masalah Ini 

Lajnah Da'imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, disahkan pula oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh Abdullah al Ghadiyan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid menyatakan dalam fatwanya, 

 

"Dibolehkan menjamak antara shalat Maghrib dan Isya' oleh sebab hujan deras yang membasahi baju, dan menyulitkan untuk berulang kali pergi ke masjid menunaikan shalat Isya."21 

Dan dalam fatwa yang lain, mereka menambahkan, 

 

"Berdasarkan hal itu, maka orang-orang yang tergesa-gesa menjamak disebabkan sekedar mendung, atau sekedar hujan rintik-rintik yang tidak menyulitkan untuk datang ke masjid, atau orang-orang yang tergesa-gesa menjamak shalat disebabkan hujan yang telah lalu yang tidak menyulitkan oleh sebab lumpur yang becek, maka mereka telah berbuat satu kesalahan besar. 

 

Dan shalat yang mereka jamak tidak sah, karena mereka menjamak dua shalat tanpa adanya udzur (alasan) syar'i, dan mereka telah mengerjakan shalat sebelum waktunya."22 

Berkata Syaikh Abdullah al Jibrin dalam satu fatwanya, 

 

"Maka atas dasar ini, tidak dibolehkan menjamak antara dua shalat kecuali apabila ada alasan syar'i yang menyulitkan (untuk mendatangi shalat jama'ah di masjid) seperti hujan deras. Yaitu hujan lebat yang dapat membasahi baju dan membuat pejalan kaki tergenang oleh air hujan sehingga sampai mengenai badannya."23 

 
Catatan Kaki
…14
HR. Muslim 704. 
…15
Lihat Majmu' Fatawa, IbnuTaimiyah, 24/70. 
…16
Majmu' Fatawa 24/72. 
…17
Fathul Bari 3/526. 
…18
Lihat l'lamul Muwaqqi'in 2/465. 
…19
Majmu' Fatawa 24/75. 
…20
Lihat perkataan Imam Syafi'i dalam al-Umm 1/95. 
…21
Fatwa no. 17127, tgl. 11/7/ 1415H. 
…22
Fatwa no.18081, tgl.5/8/1416H. 
…23
Lihat al-Qaul al-Mu'tabar fi Jam'ish Shalataini lil Mathar, Syaikh Hammad al Hammad, lampiran fatwa Syaikh Abdullah al-Jibrin. 
Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 6, Tahun V / Muharram 1427 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar