Senin, 18 Januari 2010

Kilas Balik Pencetus Takfir 
 April 7th, 2009 | Author: dzakhirah 

Kilas Balik Pencetus Takfir
Oleh: Abu Abdirrahman bin Thoyyib



Berbicara mengenai terorisme dan pengeboman yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai negara, khususnya Indonesia dan Saudi Arabia, tidak terlepas dari pembahasan masalah takfir/pengkafiran. Tidaklah mereka yang berani dan nekad serta tega membunuh kaum muslimin, entah dengan bom bunuh diri atau bom waktu dan yang lainnya, melainkan telah mengakar dalam hatinya pemikiran takfir. Mereka menganggap bahwa kaum muslimin sekarang ini tidak ada bedanya dengan orang-orang kafir (Yahudi maupun Nashoro). Maka dari itu mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan kaum muslimin. 

Sejarah telah membuktikan akan hal ini. Tidaklah orang-orang Khowarij[1] menghalalkan darah Ali dan para sahabat yang lain g, melainkan dilatarbelakangi oleh keyakinan mereka, bahwa Ali dan para sahabat itu telah kafir. Oleh karena itu simak dengan seksama hal-hal berikut ini : 

A- Peringatan akan bahaya takfir

Masalah takfir adalah masalah yang amat sensitif. Tidak boleh seseorang berbicara dalam masalah ini, kecuali dengan ilmu serta petunjuk dari para ulama. Karena barangsiapa yang mengkafirkan saudaranya muslim tanpa ilmu, maka dia telah melakukan dua kesalahan fatal, yaitu : 

1- Berbicara terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah berfirman : 
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah.” (QS. Al-An’am : 21). 

Dan Dia juga berfirman : 
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ 

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS.Al-A’roof : 33) 

Dan Allah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا


“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS.Al-Isra’ : 36) 

Kenapa bisa dikatakan demikian ? karena takfir adalah hak Allah dan Rasul-Nya. Yang disebut dengan orang kafir adalah yang dikatakan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya r. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata : “Mewajibkan dan mengharamkan, dosa dan pahala, serta takfir dan tafsiq (menuduh orang sebagai fasik) adalah hak Allah dan Rasul-Nya saja. Tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk menghukumi didalamnya” (Majmu’ Fatawa : 5/545). Ibnul Qoyyim v berkata dalam qosidah nuniyahnya : 

الكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهِ بِالنَّصِّ يَثْبُتُ، لاَ بِقَوْلِ فُلاَنِ 


مَنْ كَانَ رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُواْلكُفْرَانِ 


(Penetapan sesuatu itu) kufur adalah hak Allah kemudian Rasul-Nya

dengan penetapan nash bukan dengan ucapan si fulan (si B)

Barangsiapa yang oleh Rob semesta Alam dan Rasul-Nya

Dikafirkan maka dialah orang kafir


2- Orang tersebut telah melampaui batas terhadap saudaranya sesama muslim. Karena pengkafiran tersebut memiliki konsekwensi penghalalan darah, kehormatan dan hartanya, tidak boleh dia mewarisi atau diwarisi, tidak boleh disholatkan atau didoakan jika meninggal, serta tidak boleh disemayamkan di pemakaman kaum muslimin. Dan yang lebih parah lagi kalau yang dikafirkan itu seorang penguasa/pemimpin kaum muslimin, maka ini akan menimbulkan pertumpahan darah dan pemberontakan. Fallahul Musta’aan wa ilaihi Al-Musytaka. 

Dikarenakan bahayanya yang sangat besar, maka Islam pun memperingatkan darinya dan para ulama juga ikut andil dalam menjelaskan masalah besar ini. Rasulullah r bersabda :

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَ فِي رِوَايَةِ 


مُسْلِمٍ : إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ …

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : wahai kafir, maka (dosa) pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam berkata (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya”. (HR.Bukhori (6104) dan Muslim (111) dengan lafadz (apabila seseorang mengkafirkan saudaranya (muslim) ….).

Adapun peringatan ulama akan bahaya takfir tanpa ilmu amat banyak sekali, diantaranya : 

1- Al-‘Ala’ bin Ziyad v seorang tabi’in berkata : “Engkau menuduh kafir orang muslim atau kamu membunuhnya itu sama saja”.[2] 

2- Ibnu Abil ‘Izzi v berkata : “Ketahuilah –semoga Allah merohmatimu- bahwa pemikiran takfir sangat banyak fitnah dan bahayanya, serta menimbulkan perpecahan. Sesungguhnya kekejian yang besar adalah menuduh bahwa Allah tidak mengampuni dan merahmati orang muslim, bahkan menganggapnya kekal di dalam neraka selama-lamanya, padahal ini adalah hukum bagi orang kafir setelah mati”.[3] 

3- Imam al-Qurthubi v berkata : “Pemikiran takfir itu sangat berbahaya, banyak manusia yang terjerumus kedalamnya hingga mereka jatuh berguguran. Adapun para ulama, mereka berhati-hati sekali dalam masalah ini, sehingga mereka itu selamat, dan tidak ada yang sebanding dengan keselamatan dalam perkara ini”.[4] 


B- Syarat-Syarat Takfir

Tidak semua yang melakukan perbuatan kufur atau mengatakan perkataan kufur bisa dinamakan kafir, hingga tegak padanya hujjah dan terpenuhi syarat-syaratnya, serta dihilangkan darinya pencegah-pencegahnya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata : “Terkadang perkataan kufur bisa dikatakan secara umum bagi yang mengatakannya sebagai orang ‘kafir’, misalnya “Barangsiapa yang mengatakan perkataan (kufur ini) maka dia kafir”. Akan tetapi person (individu tertentu) yang mengatakan perkataan tersebut tidak bisa dikatakan kafir hingga tegak baginya hujjah, yang bisa menjadi kufur orang yang meninggalkannya”[5] 

Beliau juga berkata : “Sesunguhnya orang yang duduk denganku telah mengetahui, bahwa aku termasuk orang yang paling melarang (berhati-hati) dalam masalah pengkafiran dan penfasikan seorang muslim, kecuali kalau sudah tegak baginya hujjah yang barangsiapa menyelisihinya dia kafir atau fasik”[6] 

Beliau juga berkata : “Oleh karena itu aku mengatakan kepada orang-orang Jahmiyah dari kalangan Hululiyah (yang meyakini bersemayamnya Allah dalam diri makhluk-Nya) dan penolak (nama dan sifat Allah) yang meniadakan bahwa Allah diatas Arsy-Nya : “Seandainya aku menyetujui kalian, maka aku kafir karena aku tahu bahwa ucapan kalian itu kufur! Akan tetapi kalian menurutku tidak kafir sebab kalian itu bodoh”. Dan ucapan ini ditujukan kepada ulama, qodhi, syaikh dan pemimpin mereka. Sebab kebodohan mereka adalah syubhat dari akal pemimpin mereka yang tidak mau mengambil nash shohih atau akal yang sehat, yang sesuai dengan nash tersebut”.[7] 

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab v berkata : “Jika kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang ada di kuburan Ahmad Badawi karena kebodohan mereka, serta ketidakadanya orang yang memperingatkan mereka, maka bagaimana mungkin kita mengkafirkan orang yang tidak berbuat syirik hanya lantaran dia tidak bergabung dengan kami ?!” [8]

Syarat-syarat takfir itu ada tiga yaitu ilmu, niat (berbuat), dan tidak dipaksa. Dan lawan dari ketiga ini dinamakan pencegah takfir, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v : “Adapun jika orang tersebut memiliki ilmu tentang apa yang dia ucapkan, dan dia tidak dipaksa, serta dia memang berniat mengucapkan hal tersebut maka dia bisa (dikafirkan)”[9]. Adapun dalil dari ketiga syarat tersebut adalah : 

1- Ilmu lawannya jahl, dalilnya kisah Dzatu Anwaat 

Dari Abu Waqid al-Laitsi z dia berkata : “Dahulu kami bepergian bersama Rasulullah r ke Hunain, sedangkan kami baru saja keluar dari kekafiran. Orang-orang musryrikin memiliki sebuah pohon bidara yang dinamakan Dzatu anwaat, mereka menggantungkan senjata mereka di atasnya (untuk ngalap /mencari berkah). Ketika kami melewati sebuah pohon bidara kami mengatakan kepada Nabi r : ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwaat sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang musyrikin dahulu !’ maka Nabi r bersabda : ‘Allahu Akbar, ini adalah jalannya orang-orang terdahulu, demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, ini seperti ucapan Bani Israil kepada Musa : 
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آَلِهَةٌ 

“Buatkanlah untuk kami sesembahan seperti mereka.” (QS. Al-A’raf : 138) sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.” (HSR. Tirmidzi)

Ucapan dan permintaan (untuk mencari berkah kepada selain Allah) dari para sahabat di atas adalah kekufuran. Tapi karena mereka masih belum tahu hukum ucapan dan permintaan tersebut, karena mereka baru masuk Islam, maka Nabi r tidak menvonis mereka kafir. Dari sinilah kita dilarang seenaknya mengkafirkan kaum muslimin, khususnya para penguasa tanpa memperhatikan dahulu syarat takfir di atas. Bisa jadi penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah belum mengetahui apa hukum perbuatan mereka tersebut.

2- Tidak dipaksa lawannya dipaksa, dalilnya kisah Ammar bin Yasir.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ 

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS.An-Nahl : 106)

3- Niat berbuat dan lawannya tidak ada niat (bukan disengaja), dalilnya orang yang mengatakan : “Ya Allah engkau adalah hambaku dan aku adalah Robbmu” (HR.Muslim)

Ucapan orang ini kufur karena menghina Allah, Robb semesta alam, tapi karena orang tersebut mengucapkannya secara reflek/tidak sengaja, maka Nabi r tidak menvonisnya kafir. Oleh karena itulah jangan tergesa-gesa mengkafirkan kaum muslimin.


C- Kilas balik Pencetus Takfir 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v mengatakan : “Kelompok Khowarij adalah orang pertama yang mengkafirkan kaum muslimin, dan mengatakan kafir bagi setiap pelaku dosa. Mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi bid’ah mereka, serta menghalalkan darah serta hartanya”[10] 

Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan v berkata : “Yang pertama kali jatuh dalam jurang pengkafiran umat Islam adalah Khowarij. Dan benih Khowarij ini, muncul pertama kali pada zaman Nabi r. Datang seseorang (Dzul Khuwaisiroh) kepada Nabi r disaat beliau sedang membagikan harta rampasan perang, setelah datang dari Hunain. Orang itu berkata : “Wahai Muhammad, berbuat adillah, karena engkau tidak berbuat adil !” maka Rasulullah r bersabda : “Celaka engkau, siapa yang akan adil jika aku tidak adil ?!” kemudian beliau bersabda : “Akan keluar dari tulang rusuk orang ini sekelompok orang, yang kalian akan meremehkan sholat kalian jika kalian bandingkan dengan sholat mereka. Dan kalian juga akan meremehkan puasa kalian jika kalian bandingkan dengan puasa mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah menembus sasarannya” (HR. Bukhori)

Dan Khowarij inilah yang ikut andil dalam pengepungan rumah Utsman y hingga beliau terbunuh, dan mereka jugalah yang membunuh Ali bin Abi Tholib y. Pembunuhan terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib yang dilakukan oleh Abdurrohman bin Muljam ini, mereka yakini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, karena mereka menganggap telah bisa membunuh orang kafir. Imron bin Hiththon Al-Khooriji (seorang tokoh khowarij) mengatakan : 

يَا ضَرَبَةً مِنْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي اْلعَرْشِ رِضْوَانَا


إِنِّي َلأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ أَوْفَى اْلبَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا


Wahai sabetan (pedang) dari seorang yang bertakwa. Dia tidak menginginkan dengan (pembunuhan) itu

Melainkan untuk mencapai keridhoan dari (Allah) yang memiliki Arsy

Aku selalu mengingatnya dan aku menganggapnya

Sebagai orang yang paling berat timbangan (kebaikannya) disisi Allah

Subhanallahu, membunuh sahabat yang termasuk salah satu khulafa’ ar-rosyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya, dan beliau adalah salah seorang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga, dianggap oleh Khowarij sebagai amal ibadah yang mulia. Maha benar Allah yang telah berfirman :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا


Artinya : ” Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi : 103-104)

Kalau ada yang memuji pembunuh Ali y, maka pembunuh Utsman juga ada yang memujinya. Siapa dia ? Dialah tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Quthub. Dia mengatakan : “Dan yang terakhir, muncul pemberontakan terhadap Utsman. Tercampur di dalamnya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejahatan. Akan tetapi bagi yang melihat setiap perkara dengan kaca mata Islam, serta merasakannya dengan semangat keIslaman, maka dia akan menyatakan bahwa pemberontakan tersebut secara umum merupakan kebangkitan Islam.”[11] 

Diantara sebab mengapa Khowarij mengkafirkan Ali y adalah anggapan mereka, bahwa Ali tidak berhukum kepada hukum Allah. Mereka dan anak cucunya (para teroris dan mujahidin gadungan) selalu mengkafirkan para penguasa kaum muslimin dengan ayat :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

“Tidak ada hukum selain hukum Allah” (QS. Yusuf :40) 

Dan firman-Nya : 
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ 

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu kafir” (QS. Al-Maidah : 44).

Imam Al-hafidz Abu Bakr Muhammad bin Al-Husein Al-Ajurri v berkata : “Diantara syubhat Khowarij adalah (berpegangnya mereka dengan-pent) firman Allah I : “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. Mereka membacanya bersama firman Allah : ‘Namun orang-orang kafir itu mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (Surat Al-an’am : 1). Apabila mereka melihat seorang hakim yang tidak berhukum dengan kebenaran, mereka berkata : Orang ini telah kafir, dan barangsiapa yang kafir, maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Maka mereka para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik”[12].

Al-Imam Al-Qodhi Abu Ya’la v berkata dalam masalah iman : “Khowarij berhujjah dengan firman Allah ta’ala : “Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. Dzohir dalil mereka ini, mengharuskan pengkafiran para pemimpin yang dzolim, dan ini adalah perkataan Khowarij, padahal yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah orang-orang yahudi”[13].

Abu Hayyan v berkata dalam tafsirnya : “Khowarij berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan, bahwa orang yang berbuat maksiat kepada Allah itu kafir, mereka mengatakan : Ayat ini, adalah nash untuk setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bahwa dia itu kafir”[14].

Abu Abdillah Al-Qurthubi v menukil perkataan dari Al- Qusyairi v : “Madzhabnya Khowarij adalah barangsiapa yang mengambil uang suap dan berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir”[15]

Wahai kaum muslimin, sadarlah akan bahaya pemikiran mereka ! Para kholifah dari kalangan sahabat saja, mereka bantai, meskipun dengan nama jihad, apalagi kita !!! Semoga Allah menjauhkan kita dari pemikiran Khowarij, dan semoga Allah membasmi mereka semuanya, Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 23, hal. 4-10 

[1] Akan datang sebentar lagi penjelasan singkat mengenai Khowarij.

[2] Hilyatul auliya’ 2/246

[3] Syarhuth Thohawiyah 2/432

[4] Al-Mufhim 3/111

[5] Majmu’ al-fatawa : 23/345

[6] Majmu’ al-fatawa 3/229

[7] Ar-roddu ‘alal Bakri 2/494

[8] Minhajul haq wal ittiba’ oleh Syaikh Ibnu Sahman.

[9] Majmu’ Fatawa 14/118

[10] Majmu’ al-Fatawa 7/279.

[11] Al-’Adaalah Al-Ijtima’iyah hal.160 

[12] Asy-Syariah (1/342).

[13] Masaaailil Iman (340-341) dan telah lewat perkataan ini.

[14] Al-Bahrul Muhith (3/493).

[15] Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an (6/191).
Apakah Imamah Termasuk Prinsip Dakwah Salafiyah? 
 April 13th, 2009 | Author: dzakhirah 



Apakah Imamah Termasuk Prinsip Dakwah Salafiyah?

Tanya Jawab Bersama Fadhilah Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi dan Fadhilah Syaikh DR. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili Hafizhahumallah[1]


1. Pertanyaan: Apakah di antara prinsip dakwah salafiyah adalah Imamah (kepemimpinan)?

Syaikh Shalih as-Suhaimi menjawab: Imâmah atau Khilâfah (kekhalifahan), yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Rafidhah dan Mu’tazilah. Imâmah itu memang diharapkan, setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Akan tetapi hal ini telah berlalu dari masa Khulafâ` ar-Râsyidîn, bahkan dari keluarnya Abdurrahman ad-Dakhil dari kekhalifahan ‘Abbasiyah. Sejak saat itu hingga sekarang, ulama-ulama kita menyatakan, barangsiapa yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin atau wilayah mereka, meskipun menang dengan cara kudeta dan dia menegakkan syariat Allah atau mendirikan shalat di tengah mereka, maka wajib untuk membaiat dan mentaatinya, serta diharamkan untuk keluar dari kepemimpinannya, dan tidak disyaratkan harus berupa al-Imâmah al-‘Uzhmâ (kepemimpinan yang luas). 


Adapun persangkaan bahwa al-Imâmah al-‘Uzhmâ itu masih ada pada Daulah Utsmaniyah, maka ini tidaklah benar. Daulah Utsmaniyah memiliki banyak kebaikan dan penaklukan (terhadap negeri kafir), akan tetapi Daulah tersebut sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin dengan syariat Allah, kecuali dalam negeri mereka sendiri, dan itupun sesuai dengan madzhab Hanafi. Adapun negeri-negeri islam yang lain, maka dikuasai oleh hukum barat. Bahkan, hukum barat telah banyak merajalela pada mayoritas negeri-negeri kaum muslimin, khususnya di negeri Arab, sejak pertengahan atau akhir masa Abbasiyah. Bukankah demikian?? Kejahilan telah menguasai negeri-negeri itu selama berabad-abad lamanya. Dan mereka, Daulah Utsmaniyah, tidak merubah sedikitpun dari kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang dan peribadahan kepada kuburan. Persangkaan bahwa daulah Utsmaniyah adalah al-Imâmah al-‘Uzhmâ dengan segala maknanya yang benar dan diharapkan oleh setiap muslim tidaklah benar.


Kemudian, orang-orang yang sekarang menyeru untuk didirikan atau ditegakkannya al-Imâmah al-‘Uzhmâ, dan meyakininya sebagai salah satu prinsip agama –kami tegaskan, bahwa Imâmah adalah salah satu kewajiban agama jika disanggupi, dan setiap muslim pasti mengharapkanya–.Akan tetapi, jika imâmah tersebut dijadikan sebagai salah satu rukun Islam, seperti yang diyakini oleh kelompok Rafidhah dan Mu’tazilah, maka hal ini tidak pernah dikatakan oleh seorangpun, kecuali oleh orang-orang yang mengikuti Rafidhah dan Mu’tazilah dari kalangan takfiriyyîn zaman ini. Orang-orang takfiriyûn zaman ini, mereka tidak menuntut dihilangkannya kesyirikan atau syiar-syiar kesyirikan dan kekafiran yang ada di negeri-negeri kaum muslimin, namun mereka hanya menuntut ditegakkanya khilâfah/imâmah. 


Engkau mengharap keselamatan, namun enggan meniti jalannya. Sungguh, kapal laut itu tidak akan berlayar di atas daratan


2. Pertanyaan: Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah salafiyah, dia menulis banyak makalah dan memasukkan di dalamnya Imâmah sebagai salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Apakah ini benar? Dan siapa salaf (pendahulu) kita dalam hal ini? Jazâkumullâh khairan katsîra.


Fadhîlah Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menjawab: Ucapan orang tersebut masih global, apabila maksud (Imâmah) adalah kewajiban untuk mendengar dan taat kepada penguasa, maka tidak diragukan lagi, bahwa ini termasuk salah satu prinsip Ahlus Sunnah yang berlainan dengan kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Dan yang dimaksud dengan prinsip Ahlus Sunnah adalah aqidah Ahlus Sunnah. Apabila maksudnya adalah (kewajiban) untuk mendengar dan taat kepada penguasa, dan bahwasanya Ahlus Sunnah berada di atas manhaj (metode) yang berbeda dengan manhaj para penentangnya, maka ini adalah prinsip mereka (juga). 


Imam Ahmad, ketika menyebutkan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah, beliau menyebutkan tentang kewajiban untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Apabila itu maksudnya, maka ini benar. Akan tetapi, selayaknya untuk diluruskan kata-kata tersebut. Dan apabila maksud dari ungkapan itu bahwa imâmah termasuk salah satu rukun Islam, seperti yang diyakini oleh kelompok Rafidhah dan diikuti oleh Neo Khawarij, yang mana mereka mengatakan bahwa imâmah termasuk salah satu rukun iman, atau bahwasanya al-Hâkimiyyah (berhukum dengan hukum Allah) merupakan salah satu macam tauhid, maka tidak diragukan lagi, bahwa ini termasuk bid’ah yang diada-adakan. 


Tidak diragukan, bahwa imâmah adalah suatu kewajiban. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- pernah membantah seorang Rafidhah, ketika dia menyatakan bahwa imâmah termasuk prinsip agama teragung, atau bahwasanya imâmah adalah semulia-mulianya rukun Islam. Hal ini dikarenakan, orang-orang Rafidhah meriwayatkan dalam kitab mereka “al-Kâfi” lima rukun Islam. Kemudian mereka menyebutkan di antaranya adalah imâmah. Di dalam sebagian riwayat mereka dikatakan, rukun (Islam) yang mana yang paling mulia? Maka dijawab: Imâmah. Lalu mereka menukil dan berdusta atas nama imam-imam Ahlul Bait. Apabila ini maksud Imâmah yang dikatakan sebagai salah satu rukun Islam, maka ini tentu tidak benar. 


Demikian pula, jika dikatakan bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah salah satu macam tauhid yang barangsiapa meninggalkannya maka dia telah meninggalkan tauhid, maka ini tidak benar. Sesungguhnya berhukum dengan hukum Allah adalah wajib dan termasuk bagian dari keumuman ibadah yang wajib, yang diwajibkan kepada penguasa. Ucapan di atas (Imâmah merupakan bagian dari prinsip Ahlus Sunnah) adalah ucapan yang masih global, dan saya selalu menasehatkan kepada orang yang berbicara, khususnya mereka yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah, untuk meluruskan ungkapan-ungkapan dan ucapan-ucapannya, sehingga dia selamat dari kesalahpahaman, atau dinisbatkan ucapannya kepada selain yang dia inginkan. 


Dan apabila yang berbicara tersebut termasuk orang-orang yang ingin menipu kaum muslimin –dan ini bukanlah metode Ahlus Sunnah-, maka selayaknya untuk disingkap perkaranya, hingga tidak tersamarkan bagi manusia. Ucapan di atas masih global, yang selayaknya untuk diluruskan dan dijelaskan maknanya.
Majalah Adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah Ed 42, hal. 4-6


[1] Dari tanya jawab pada acara Daurah ke 9 bulan 6-12Juli 2008 di Trawas Mojokerto yang diadakan STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya. Alih Bahasa Abu Abdirrahman bin Thoyyib
Lima Faidah Penting Seputar Anjing
Posted on Februari 24, 2009 by dzakhirah 

Lima Faidah Penting Seputar Anjing

Abu Ashim Mukhtar Arifin Lc

[1] Masuk Islam Setelah Berdialog Tentang
Jenggot dan Ekor Anjing !

Ada sebuah dialog antara seorang muslim yang aktif dalam berdakwah di jalan Allah ta’ala dengan seorang laki-laki kafir. Seorang da’i tersebut memiliki jenggot yang lebat, karena dia adalah orang yang komitmen dalam mengamalkan sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- yang mulia. Ketika orang kafir itu melihat jenggotnya yang panjang, maka ia ingin merendahkan, mengejek dan memperolok-oloknya. Orang kafir itu bertanya untuk mengejek jenggotnya : ”Mana yang lebih utama, jenggot ini ataukah ekor anjing?”

Da’i yang bijak dan sabar tersebut menjawab: ”Apabila jenggot ini akan berada di surga, maka ia lebih baik daripada ekor seekor anjing. Akan tetapi apabila jenggot ini akan berada di neraka, maka ekor seekor anjing lebih utama dari jenggot ini.”

Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”

Segala puji bagi Allah, akhirnya ia memeluk agama Islam dan termasuk orang-orang yang komitmen dalam menjalankannya. Semoga Allah memberi kita semua ketegaran dan istiqamah dalam memegang satu-satunya agama yang haq dan mulia ini. 

[2] Tidak Sombong
Meskipun Kepada Seekor Anjing

Sombong terhadap orang lain adalah termasuk perkara yang dibenci Syari’at. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia agar menjauhi sikap yang tercela ini.

Salah satu sifat rendah diri seorang imam yang pantas dicontoh adalah apa yang dilakukan oleh tokoh pembesar madzhab syafi’i Abu Ishaq asy-Syirazi -rahimahullah-. Pada suatu hari beliau berjalan di suatu jalan umum bersama para sahabatnya. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seekor anjing. Lalu pemiliknya mengusir anjing itu (sebagai bentuk penghormatan untuk beliau). Melihat perlakuan orang itu, beliau melarangnya dan mengatakan: ”Biarkanlah anjing itu, tidakkah engkau mengerti bahwa jalan ini adalah milik bersama, untukku dan untuk anjing itu ?!” (Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 6)

[3] Allah Menampakkan Keutamaan Ilmu
Melalui Anjing

Ilmu Syari’at ini memiliki keutamaan yang sangat banyak. Keutamaan-keutamaan tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur`an dan oleh Rasulullah n dalam banyak hadits-hadits yang shahih. Para ulama pun telah menjelaskan hal itu dalam karya-karya ilmiyah mereka. Salah satunya terlihat dari ayat tentang berburu dengan anjing buruan.
Allah berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 4)
Imam al-Qurthubi -rahimahullah- juga mengatakan: ”Masalah ke-17: Dalam ayat ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang yang tidak berilmu. Hal itu apabila seekor anjing terdidik, maka ia akan memiliki keutamaan melebihi segala jenis anjing. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki ilmu, maka dia lebih utama untuk mendapatkan keutamaan atas semua manusia, terlebih apabila ia mengamalkan ilmunya.” (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, jilid 6, hlm. 74)

Ungkapan senada pula telah disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam Miftâh Dâr as-Sa’âdah, jilid 1, hlm. 235-236 dan Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di dalam Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm. 221)

[4] Pengekor Hawa Nafsu Seperti Anjing Penjilat

Allah ta’ala telah banyak membuat permisalan tentang jeleknya dan hinanya orang yang telah diberi ilmu lalu mengikuti hawa nafsunya dengan sifat yang ada dalam seekor anjing. Hal itu dijelaskan dalam firman-Nya:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. al-A’râf: 175-176)
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnul Qayyim -rahimahullah- mengatakan: ”Allah membuat perumpamaan bagi orang yang telah diturunkan kepadanya kitab Allah dan diajari ilmu yang orang yang lain terhalang darinya, lalu ia tidak mengamalkannya malah mengikuti hawa nafsu serta mengutamakan kemurkaan Allah atas keridhaan-Nya, dunia daripada akhirat dan makhluk daripada Khaliq, (orang tersebut bagaikan) anjing, binatang yang paling hina dan paling rendah kedudukannya serta paling hina jiwanya. Keinginannya tidak lebih dari perutnya. Ia adalah binatang yang paling rakus dan tamak.

Di antara kerakusannya adalah bahwa ia tidak berjalan melainkan moncongnya berada di tanah mencium-cium dan mencari bau-bauan dengan rakus dan tamak. Anjing ini selalu menciumi duburnya, bukan anggota badan yang lain. Apabila engkau melempar batu kepadanya, ia akan menuju kepadanya untuk menggigitnya karena kerakusannya yang amat sangat. Ia adalah binatang yang paling rendah dan paling tahan berada dalam kehinaan serta paling rela dengan perkara-perkara yang rendahan”. (at-Tafsîr al-Qayyim, dikumpulkan oleh Muhammad an-Nadawi, hlm. 280-281)

[5] Ungkapan ”Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik dari anjing, maka anjing lebih baik dari pada orang itu”

Al-’Allâmah Zakariya bin Muhammad al-Anshari asy-Syafi’i t (wafat 926 H) pernah ditanya tentang perkataan sebagian orang sufi:

مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ فَالْكَلْبُ خَيْرٌ مِنْهُ

Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.

Kemudian beliau menjawab: ”Maknanya yaitu, tidak sepantasnya bagi siapapun menyangka bahwa ia lebih baik daripada anjing, dan tidak pula sepadan dengannya, karena akhir dari urusan kehidupan orang itu tidak diketahui, apakah ia akan tinggal selamanya di neraka ataukah tidak? Sekiranya tidak kekal di neraka, apakah ia akan diadzab ataukah tidak? Kapan saja orang itu menyangka demikian (yaitu merasa lebih tinggi, lebih baik dan utama dari anjing secara mutlak, pen), maka anjinglah yang lebih baik darinya. Hal itu karena anjing itu tidak mukallaf (tidak terbebani untuk menjalankan syari’at) dan tidak mendapatkan adzab. Allâhu a’lam”. (al-I’lâm wa al-Ihtimâm bi Jam’ Fatâwâ Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari, dikumpulkan oleh Ahmad Ubaid)

(Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 48, hal. 55-58)
Pencetus Pertama Maulid Nabi
Posted on Maret 7, 2009 by dzakhirah 

Pencetus Pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-
Abu Abdirrahman Bin Thoyyib Lc.


A. Sejarah Perayaan Maulid

Diantara perayaan-perayaan bid’ah yang diadakan oleh kebanyakan kaum muslimin adalah perayaan maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-. Bahkan maulid Nabi ini merupakan induk dari maulid-maulid yang ada seperti maulid para wali, orang-orang sholeh, ulang tahun anak kecil dan orang tua. Maulid-maulid ini adalah perayaan yang telah di kenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Dan perayaan ini bukan hanya ada pada masyarakat kaum muslimin saja tapi sudah di kenal sejak sebelum datangnya Islam. Dahulu Raja-Raja Mesir (yang bergelar Fir’aun) dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk Tuhan-Tuhan mereka,[1] demikian pula dengan agama-agama mereka yang lain.

Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih -alaihi salam-, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.

Kemudian sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada agama Islam ini menjadikan hari kelahiran Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- sebagai hari raya yang diperingati seperti orang-orang Kristen yang menjadikan hari kelahiran Isa al-Masih sebagai hari raya mereka. Maka orang-orang tersebut menyerupai orang-orang Kristen dalam perayaan dan peringatan maulid Nabi yang diadakan setiap tahun.

Dari sinilah asal mula maulid Nabi sebagaimana yang dikatakan oleh as-Sakhawi : “Apabila orang-orang salib/kristen menjadikan hari kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya maka orang Islam pun lebih dari itu” (at-Tibr al-Masbuuk Fii Dzaiissuluuk oleh as-Sakhawi)

Inilah teks penyerupaan dengan orang-orang Kristen. Sesungguhnya perayaan maulid Nabi ini menyerupai orang-orang Kristen, padahal “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul Gholil 5/109.) Dan inilah yang dikabarkan serta yang dikhawatirkan oleh Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-: “Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sedikit demi sedikit sampai seandainya mereka masuk kelubang biawak kalian juga akan mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

B. Siapa Orang Pertama Yang Mengadakan Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- Dalam Sejarah Islam?

Para Ulama yang mengingkari perayaan bid’ah ini telah sepakat, demikian juga dengan orang-orang yang mendukung acara bid’ah ini bahwa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- tidak pernah merayakan maulidnya dan juga tidak pernah menganjurkan atau memerintahkan hal ini. Para sahabat beliau, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang merupakan orang-orang terbaik umat ini serta yang paling bersemangat mengikuti Sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- mereka semuanya tidak pernah merayakan maulid.

Tiga generasi umat Islam yang telah di rekomendasi oleh Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- berlalu dan tidak di temui pada saat-saat itu perayaan-perayaan maulid ini. Tapi ketika Daulah Fatimiyyah di Mesir berdiri pada akhir abad keempat muncullah perayaan atau peringatan maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- yang pertama dalam sejarah Islam,[2] sebagaimana hal ini dikatakan oleh al-Migrizii [3] dalam kitabnya “Al-Mawa’idz wal i’tibar bidzikri al-Khuthoth wal Aatsar” : Dahulu para Kholifah/penguasa Fatimiyyin selalu mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, diantaranya adalah perayaan tahun baru, Asy-Syura, Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Maulid Ali bin Abi Thalib a, Maulid Hasan dan Husein, Maulid Fatimah dll. (Al-Khuthoth 1/490)

C. Kilas Balik Pelopor Pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-

Pada tahun 317 H muncul di Maroko sebuah kelompok yang di kenal dengan Fatimiyyun (pengaku keturunan Fatimah binti Ali bin Abi Tholib) yang di pelopori oleh Abu Muhammad Ubeidullah bin Maimun al-Qoddah. Dia adalah seorang Yahudi yang berprofesi sebagai tukang wenter, dia pura-pura masuk ke dalam Islam lalu pergi ke Silmiyah negeri Maroko. Kemudian dia mengaku sebagai keturunan Fatimah binti Ali bin Abi Tholib dan hal ini pun di percaya dengan mudah oleh orang-orang di Maroko hingga dia memiliki kekuasaan.

Ibnu Kholkhon[4] berkata tentang nasab Ubeidillah bin Maimun al-Qoddah : “Semua Ulama sepakat untuk mengingkari silsilah nasab keturunannya dan mereka semua mengatakan bahwa, semua yang menisbatkan dirinya kepada Fatimiyyun adalah pendusta. Sesungguhnya mereka itu berasal dari Yahudi dari Silmiyah negeri Syam dari keturunan al-Qoddah. Ubeidillah binasa pada tahun 322 H, tapi keturunannya yang bernama al-Mu’iz bisa berkuasa di Mesir dan kekuasan Ubeidiyyun atau Fatimiyyun ini bisa bertahan hingga 2 abad lamanya hingga mereka dibinasakan oleh Sholahuddin al-Ayubi pada tahun 546 H.” [5]

Perlu diketahui bahwa Maimun al-Qoddah ini adalah pendiri madzhab/aliran Bathiniyyah yang didirikan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Aqidah mereka sudah keluar dari Islam bahkan mereka lebih sesat dan lebih berbahaya dari Yahudi dan Nasrani. Tidak ada yang bisa membuktikan akan hal ini kecuali sejarah mereka yang bengis dan kejam terhadap kaum muslimin, diantaranya : pada tahun 317 H ketika mereka telah sangat berkuasa dan bisa sampai ke Ka’bah mereka membunuh jama’ah haji yang sedang berthowaf pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Mereka jadikan Masjid Haram dan Ka’bah lautan darah di bawah kepemimpinan dedengkot mereka Abu Thohir al-Janaabi.

Abu Thohir ketika pembantaian ini duduk di atas pintu Ka’bah menyaksikan pembunuhan terhadap kaum muslimin/jama’ah haji di Masjid Haram dan dibulan haram/suci. Dia mengatakan : “Akulah Allah, Akulah Allah, Akulah yang menciptakan dan Akulah yang membinasakan” -Mahasuci Allah dari apa yang ia katakan -. Tidak ada seorang yang thowaf dan bergantung di Kiswah Ka’bah melainkan mereka bunuh satu persatu.

Setelah itu mereka buang jasad-jasad tersebut ke sumur zam-zam. Dan mereka cungkil pintu Ka’bah dan mereka sobek kiswah Ka’bah serta mereka ambil hajar aswad dengan paksa. Pemimpin mereka (Abu Thohir) ketika melakukan hal tersebut dia mengatakan : “Dimana itu burung (Ababil), mana itu batu-batu yang (di buat melempar Abrahah)???” Mereka menyimpan hajar aswad di Mesir selama 22 tahun.[6] Ini adalah gambaran singkat kekufuran Bathiniyyah

D. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Kelompok Bathiniyyah (Fatimiyyun)???

Imam Abdul Qohir al-Baghdady (meninggal tahun 429 H) -rahimahullah- berkata : “Madzhab Bathiniyyah bukan dari Islam, tapi dia dari kelompok Majusi (penyembah api)[7]. Beliau juga berkata : “Ketahuilah bahwa bahayanya Bathiniyyah ini terhadap kaum muslimin lebih besar dari pada bahayanya Yahudi, Nasrani, Majusi serta dari semua orang kafir bahkan lebih dahsyat dari bahayanya Dajjal yang akan muncul di akhir zaman.” [8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- mengatakan : “Sesungguhnya Bathiniyyah itu orang yang paling fasik dan kafir. Barangsiapa yang mengira bahwa mereka itu orang yang beriman dan bertakwa serta membenarkan silsilah nasab mereka (pengakuan mereka dari keturunan ahli bait/Ali bin Abi Tholib,-pent) maka orang tersebut telah bersaksi tanpa ilmu. Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isra: 36)

Dan Allah berfirman :

“Kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran sedang dia mengetahui” (QS.Az-Zukhruf : 86)

Para Ulama telah sepakat bahwa mereka adalah orang-orang zindik dan munafik. Mereka menampakkan ke-Islaman dan menyembunyikan kekufuran. Para Ulama juga sepakat bahwa pengakuan nasab mereka dari silsilah ahlul bait tidaklah benar. Para Ulama juga mengatakan bahwa mereka itu berasal dari keturunan Majusi dan Yahudi. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi Ulama dari setiap madzhab baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, maupun Hanabilah serta ahli hadits, ahli kalam, pakar nasab dll (Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 35/120-132)

Kesimpulan :

Jadi pelopor bid’ah maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- adalah kelompok Bathiniyyah [9] yang mereka mempunyai cita-cita untuk merubah agama Islam ini dan memasukkan hal-hal yang bukan dari agama agar menjauhkan kaum muslimin dari agama yang benar ini. Menyibukkan manusia dari bid’ah (perayaan-perayaan bid’ah seperti maulid) adalah salah satu jalan yang mudah untuk mematikan Sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- dan menjauhkan manusia dari syari’at Allah. [10]

——————————————————-

1. Al-Adab Al-Yunaani Al-Qodim…oleh DR Ali Abdul Wahid Al-Wafi hal. 131.
2. Al-A’yad wa atsaruha alal Muslimin oleh DR. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287.
3. Dia adalah pendukung kelompok Ubeid Al-Qoddah (Ubeidyyin). Dia bernama Ahmad bin Ali bin abdul Qodir bin Muhammad bin Ibrahim al-Husaini al-Ubeidi. Lahir pada tahun 766 H.
4. Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Kholkhon, pengikut madzhab Syafi’i. Dia dilahirkan tahun 608 H. Seorang ahli sastra Arab dan penyair. Beliau meninggal pada tahun 681 H dan disemayamkan di Damaskus (Pent).
5. Lihat Firoq Mu’ashiroh oleh DR Gholib Al-’Awajih 2/493-494. Perlu diketahui bahwa kelompok Bathiniyah ini memiliki beberapa nama / sekte. Diantaranya : Nushairiyah, Duruz, Qoromithoh (Ubeidiyyin/Fathimiyyin), Ibahiyah, Isma’iliyah dll.
6. Lihat Bidayah wan Nihayah hal. 160-161 oleh Ibnu Katsir.
7. Al-Farqu bainal Firoq oleh al-Baghdady hal. 22
8. Ibid hal.282
9. Ini pendapat yang kuat. Adapun yang mengatakan bahwa maulid tersebut dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudoffar Abu Sa’id Kukburi maka ini tidak menafikan hal diatas karena awal maulid tahun 604 H ini di Mushil saja, adapun secara mutlak maka Bathiniyyahlah pencetus pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- didunia, khususnya di Mesir. (Lihat kitab “Al-Bida’ Al-Hauliyah” dan “Al-A’yad wa Atsaruha).
10 “Al-Bida’ Al-Hauliyah” Hal. 145, oleh Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry

Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 14, hal. 10-12

Jumat, 08 Januari 2010

Ust. Abu Haidar

Bukan Cinta Biasa (2) 

By Abu Haidar at 22 Desember, 2009, 10:40 am 

Cinta Mubah

Jenis cinta yang paling mulia adalah jenis cinta yang pertama, cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla dan wajib kita miliki, sedangkan tiga jenis cinta yang lainnya adalah mubah. Kecuali apabila ketiga jenis cinta yang mubah ini dibarengi dengan hal-hal yang sifatnya ibadah, maka cinta jenis ini menjadi ibadah.

Seseorang yang mencintai orang tuanya dengan kecintaan pemuliaan atau penghormatan, apabila dibarengi dengan niat ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka kecintaannya bernilai ibadah. As-Sa’dy rahimahullah menyatakan bahwa apabila cinta yang mubah ini bisa membantu dan mendorong kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka berubah menjadi ibadah.

Namun apabila cinta yang mubah ini bisa menghalangi ketaatan dan kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bahkan bisa menyeret kepada apa-apa yang tidak dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka cinta yang seperti ini berubah menjadi cinta yang terlarang. Tapi kalau tidak berpengaruh apa-apa dalam arti tidak menambah kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak mengurangi ketaatan kepada-Nya maka tetaplah dia dalam kemubahannya. (al-Qaul as-Sadid hal 90-97).

Cinta Naluri 

Demikian pula cinta thabi’i (naluri) seperti mencintai makanan, minuman, dan seterusnya, apabila diniatkan untuk mendukung ibadah maka cinta inipun menjadi ibadah. Oleh karena itu Nabi diberikan rasa cinta kepada wanita dan minyak wangi dengan cinta naluri (HR. Ahmad dan an-Nasa’i dengan sanad yang hasan), tetapi diperlakukan dengan perlakuan yang sesuai dengan syari’at sehingga memberi maslahat yang besar bagi pribadi, ibadah, dan dakwah perjuangannya, maka kecintaan naluri ini bernilai ibadah.

Nabi pernah menyatakan bahwa orang yang menyantuni janda dan orang miskin seperti mujahid di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan beliaupun mengatakan orang yang seperti itu bagaikan orang yang shalat dan tak pernah berhenti atau seperti orang yang shaum dan tak pernah berbuka. (Muttafaq ‘alaih).

Bahkan orang yang menyantuni anak yatim akan memperoleh pahala dan bernilai ibadah karena mengamalkan perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Rasul bersabda, “Aku dan orang-orang yang menjamin anak yatim akan berada di dalam surga seperti ini.” Lalu beliau berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya. (HR. Bukhari).

Walhasil, cinta yang mubah bisa berubah menjadi cinta ibadah apabila diniatkan untuk ibadah dan dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan syari’at. Hal ini berbeda dengan orang yang memiliki cinta yang mubah tetapi tidak diniatkan untuk ibadah. Seperti orang yang menyantuni anak yatim hanya karena riya, atau dorongan jiwa social atau hanya melaksanakan tugas sebagai pegawai panti social atau hanya dorongan kemanusiaan semata. Semua itu mubah dan tidak bernilai ibadah.

Nabi bersabda, “Amal itu bergantung kepada niat, dan setiap orang hanya akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari).

(Bersambung)

Ust. Abu Haidar

Bukan Cinta Biasa (1) 

By Abu Haidar at 10 Agustus, 2009, 9:46 pm 

  Ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla harus dibangun di atas landasan cinta, bahkan cinta adalah hakikat dari ibadah itu sendiri, sebab bila kita ibadah tanpa cinta maka ibadah kita ibarat kulit yang tidak memiliki ruh. Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawanya juz 1/95 menyatakan bahwa penggerak hati dalam ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla ada tiga, yaitu: rasa cinta, rasa takut, dan harapan.

  Dan penggerak yang paling kuat di antara ketiga hal itu adalah cinta. Rasa takut akan membuat manusia berusaha agar tidak menyimpang dari jalan-Nya, rasa cinta akan menyebabkan dia berjalan menuju yang dicintainya, sedangkan harapan yang akan menuntunnya. Ibadah tidak akan sah tanpa ketiganya.

 

Bagian Cinta

  Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah cinta ada dua bagian.

Pertama, cinta ibadah

 yaitu merasa rendah diri/hina dan mengagungkan. Hati manusia harus menghadirkan sikap mengagungkan terhadap yang dicintai serta memuliakan. Sehingga ia melaksanakan perintah yang dicintai dan menjauhi larangannya. Cinta jenis ini khusus ditujukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang mencintai makhluk seperti kecintaan kepada Allah maka dia telah berbuat musyrik dengan kemusyrikan yang besar. Para ulama mengungkapkan cinta jenis ini dengan ungkapan cinta khusus atau bukan cinta biasa.

Kedua, cinta yang bukan ibadah. Terdiri dari:
Cinta karena Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu mencintai apa-apa yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla baik berupa manusia, seperti para nabi, para rasul, para shiddiqin, para syuhada, dan para shalihin, serta mencintai sesama muslim. Atau berupa amal perbuatan, seperti shalat, zakat, dan amal kebaikan lainnya. Atau berupa waktu, seperti bulan Ramadhan dan sepuluh hari terakhir di bulan itu, serta yang lainnya. Atau berupa tempat, seperti masjid, ka’bah, gunung Uhud, dan yang semisalnya. Mencintai semua itu berarti mencintai karena Allah ‘Azza wa Jalla. Dan cinta jenis ini termasuk cabang dari cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bahkan termasuk penyempurnaan tauhid serta tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Tali Allah yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Bukhari).
Cinta kasih sayang, seperti mencintai anak kecil, orang miskin, orang sakit, anak yatim, dan sejenisnya.
Cinta memuliakan dan menghormati yang tidak berupa ibadah, seperti seseorang yang mencintai orang tuanya, guru atau orang dewasa ahli kebaikan.
Cinta thabi’i (naluri), seperti mencintai makanan, minuman, pakaian, kendaraan, dan tempat tinggal yang nyaman. Mencakup juga cinta kepada istri, anak, harta, dan jabatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah ditanya, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah!” Ditanya lagi, “Kalau dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Bapaknya!” Maksudnya adalah Abu Bakar. (HR. Bukhari dari Amr bin Ash).

Abu Haidar As sundawy

Amsterdam 3 

By Abu Haidar at 19 Desember, 2009, 3:52 am 

Seperti 2 daurah sebelumnya, daurah kali inipun saya diundang PPME (Perhimpunan Pemuda Muslim Eropa)sebagai pengisi tunggal di daurah ini. PPME secara rutin mengadakan daurah 2 kali dalam setahun yaitu setiap bulan Desember - Januari dan April - Mei.

Saya berangkat dari rumah di kabupaten Bandung Barat jam 10.45 WIB diantar oleh keluarga tercinta ke pool salah satu travel di kota Bandung. Dari Bandung travel yang saya tumpangi berangkat tepat jam 12.00. Perjalanan Bandung Jakarta alhamdulillah lancar tanpa hambatan berarti sehingga saya tiba di bandara Soekarno Hatta jam 15.00.

Setelah shalat dhuhur ddan asar dijamak di mushola bandara saya bergegas antri di loket chek in. Antriannya agak panjang karena banyaknya penumpang yang juga akan pergi ke Eropa sekedar untuk berlibur akhir tahun.

Pesawat yang dijadwalkan take off jam 18.20 ternyata delayed lebih dari 1/2 jam dan baru terbang jam 19.00 lebih. Saya transit dulu di Malaysia kira2 dua jam setelah itu terbang lagi ke Amsterdam dengan pesawat yang lebih besar.

Setelah menempuh perjalanan selama 12 jam 20 menit akhirnya saya mendarat di bandara Schipoll Amsterdam Belanda dengan selamat. Waktu saat itu menunjukan jam 06.00 waktu setempat. Saya lihat arloji saya menunjukkan jam 12.00 WIB, berarti ada 6 jam perbedaan waktu antara Indonesia dengan Belanda.Berarti lama total perjalanan saya dari rumah sampai ke Amsterdam ini lebih dari 25 jam. Perjalanan panjang yang cukup memguras stamina. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan kapada saya sehingga saya tiba di Belanda dalam keadaan sehat dan tetap fresh.

Selama di bandara saya tidak mendapat masalah yang berarti. Tak ada polisi yang mencegat seperti tahun lalu, juga tak ada pemeriksaan ketat bea dan cukai. Hanya sedikit pertanyaan ringan di imigrasi. Hanya kira2 satu menit di loket imigrasi sayapun keluar dari bandara.

Di luar udara amat dingin. Bbrrrrrr….Suhu saat itu sekitar 0 derajat celcius. Mantel yang saya pake rasanya tak sepenuhnya bisa menahan hawa dingin ini. Ada dua orang wajah akrab dan ramah menyambut saya dengan hangat. Mereka memberi pelukan kerinduan di cuaca yang dingin ini yang membuat saya merasa nyaman. Berkuranglah rasa dingin dan hilanglah kelelahan akibat panjangnya perjalanan. Mereka adalah Pak Abullah Aziz dan Pak Ishak Manshur, dua orang yang selalu membuat saya merasa senang setiap kali kami bertemu.

Setelah puas melepas pelukan kerinduan kami melanjutkan obrolan sambil berjalan ke tempat parkir. Tak lebih dari 3 menit kami tiba di tempat parkir lalu mobil kamipun melaju meninggalkan gedung bandara.

Di luar terlihat hamparan salju putih menutupi jalan. Memang tadi malam salju baru turun pertama kali untuk musim dingin tahun ini. Dengan berkelakar Pak Aziz bilang mungkin salju itu menyambut kedatangan saya ke Amsterdam ini. Kamipun tertawa bersama menyambut kelakar itu. Kelakar yang sama pernah saya lontarkan ke Syaikh Ali Hasan Al Atsary Al Halaby ketika beliau ke Bandung beberapa tahun yang lalu. Kedatangan beliau ke Bandung disambut hujan sedang, lalu dengan berkelakar saya katakan bahwa hujan ini turun untuk menyambut kedatangan Syaikh. Beliau dan penumpang lainnya tertawa mendengarnya.

Kira2 10 menit kami tiba di sebuah tempat yang tak asing lagi bagi saya. Tempat penuh kenangan religius yang selalu saya datangi setiap kali saya ke Amsterdam. Tempat yang menyimpan banyak harapan bagi pengembangan da’wah di Eropa. Tempat yang telah banyak menorehkan sejarah perjuangan da’wah pemuda muslim Eropa dan menjadi pusat pengembangan da’wah bagi para aktifis PPME. Inilah mesjid.

Kami mampir dulu ke mesjid ini untuk menunaikan shalat subuh. Kebetulan waktu shalat subuh sudah mau masuk. Waktu sdh menunjukan jam 06.50 tapi keadaan masih sangat gelap. Di musim dingin memang malamnya lebih panjang daripada siang. Shalat subuh bisa jam 7 lebih dan magribnya kira2 jam 16.00.

Kami masuk ke dalam mesjid yang sepi. Hanya ada satu orang yang sdh datang. Diapun menyambut saya dengan pelukan hangat. Keadaan mesjid tak banyak berubah seperti tahun lalu. Di sana sudah terpasang hijab untuk memisahkan tempat ikhwan dan akhwat selama daurah nanti. Kamipun menunaikan shalat subuh berjamaah berempat. Memang jamaah yang ke mesjid belum banyak karena daurah baru akan mulai jumat malam sedangkan sekarang baru hari Kamis. Mereka menunaikan shalat di mesjid2 terdekat dengan rumah mereka dan baru akan ke mesjid ini pada daurah esok.

Seusai shalat subuh saya berangkat lagi dengan Pa Ishak menuju rumah beliau. Ya tahun ini saya akan tinggal di rumah beliau selama daurah. Beliau orang Sunda yang ramah dan familiar. Kamipun selalu ngobrol dengan basa Sunda. Asa wararaas nyarios ku basa Sunda di nagri batur. Ngobrol dengan basa Sunda dengan celetukan2 khas Sunda di negeri orang terasa lebih nikmat dibanding berbahasa Sunda di tanah parahyangan.

Begitu sampai di rumah sayapun disambut dengan ramah oleh isteri Pak Ishak yang juga orang Sunda. Setelah berbasa basi sebentar sayapun diantar ke kamar yang telah disediakan untuk saya. Alhamdulillah di dalamnya telah ada komputer dengan fasilitas internya yang khusus di sediakan untuk saya selama disini. (Bersambung)