Selasa, 02 Juni 2009

Beranda » Akhlaq 
Urgensi Akhlak dalam Membangun Masyarakat
1 June 2009 0 Komentar

Makarimul akhlak (kepribadian yang mulia) merupakan sifat para nabi, orang shiddiq dan shalih. Sedangkan akhlak yang buruk adalah racun yang membawa pemiliknya ke jalan syaitan dan penyakit yang menghancurkan kebahagian umat manusia. Oleh karena itu Allah Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam untuk menyempurnakan akhlak yang luhur yang dimiliki umat manusia. Beliau membawa akhlak yang agung bersumber dari wahyu Ilahi untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.

Allah Ta’ala berfirman :

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.“ (QS. Al Qalam: 4)

Hal ini ditafsirkan oleh Aisyah radhiallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak beliau shallallahu’alaihi wassalam dalam pernyataannya:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ

“Akhlak beliau adalah Al Qur’an.“[1]

Demikianlah akhlak yang mulia telah menjadi salah satu rukun kenabian shallallahu’alaihi wassalam .

Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Aku hanya diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.“


Takhrij


Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Al Adaab Al Mufraad hal 42, Ahmad 2/381, Al Hakim 2/613, Ibnu Saad dalam Thabaqaatul Kubra (1/192), Al Qudhaa’iy dalam Musnad Asysyihaab No.1165 dan Al Kharaaithiy dalam Makarimul Akhlak Wa Ma’aaliha hal 2. dari jalan periwayatan Muhammad bin Ajlaan dari Al Qa’qaa’ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu’alaihi wassalam 

Sanad ini hasan. Hadits ini dishahihkan Al Haakim dan beliau berkata: “Sesuai dengan syarat Muslim” demikian juga Adz Dzahabiy menyetujui ucapan Al Hakim ini, akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlaan dikeluarkan Imam Muslim dalam Mutaba’ah (untuk penguat saja).

Hadits ini juga memiliki syahid (jalan periwayatan dari sahabat yang lain) dalam Muwatha’ Imam Malik (2/904) secara balagh dengan lafadz:

أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ 

“Sesungguhnya telah sampai kepadaku (balagh) bahwa Rasulullah bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak.”

Demikian juga dikuatkan oleh hadits Zaid bin Aslam yang mursal dan hadits Jaabir bin Abdillah yang lemah. Sehingga Syaikh Saalim bin Ied Al Hilaaliy menyatakan hadits ini shahih dengan syahid-syahid-nya.[2]


Syarah Hadits


Makarimul akhlak (akhlak yang mulia) jika menjadi sifat seseorang bermakna satu ungkapan yang mencakup sifat dan perbuatan luhur (terpuji) yang tampak dalam budi pekerti dan pergaulannya. Akhlak yang mulia ini adalah tonggak keutuhan dan kejayaan satu umat, sebagaimana disampaikan oleh seorang penyair yang bernama Ahmad Syauqiy dalam pernyataannya:

Umat itu tergantung akhlak yang tersisa padanya, jika akhlak tersebut lenyap maka lenyaplah mereka

Akhlak mulia memiliki pengaruh dalam tegak dan hancurnya satu masyarakat karena akhlak mulia adalah dasar ditegakkannya perintah Allah Ta’ala dalam jiwa manusia. Jika jiwa memiliki akhlak dan perilaku mulia maka tidak diragukan dia akan mengagungkan syiar-syiar Allah dan komitmen dengan manhaj agamanya. Sebagaimana Allah berfirman:

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.“ (QS. Al Hajj:32)

Akhlak mulia menjadi salah satu rukun ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam sehingga sudah semestinya diwujudkan dalam jiwa seorang muslim.

Kedudukan yang tinggi ini telah dijelaskan Allah dalam ayat-ayat-Nya agar manusia dapat istiqamah di atas akhlak mulia tersebut. Allah berfirman:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.“ (QS. Al Baqarah:187).

وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebahagian ancaman, agar mereka bertaqwa.” (QS. Thaha:113)

Demikian juga firman-Nya:

قُرْءاَناً عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa.“ (QS. Az Zumaar :28)

Oleh karena itulah para Rasul senantiasa mengajak kaumnya untuk mewujudkan akhlak yang mulia .

Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihis salam, beliau mengajak kaumnya sebagaimana dikisahkan Allah dalam firmanNya:

كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ نُوحٌ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa?Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.“(Asy Syu’ara: 105-110)

Demikian juga Nabi Hud ‘alaihis salam mengajak kaumnya berakhlak mulia

كَذَّبَتْ عَادٌ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ هُودٌ أَلاَ تَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَا
تَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةً تَعْبَثُونَ وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ وَإِذَا بَطَشْتُم
بَطَشْتُمْ جَبَّارِينَ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُم بِمَا تَعْمَلُونَ أَمَدَّكُم
بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Kaum Aad telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. 

Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia). Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air, sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab yang besar.” (QS. Asy Syu’ara:123-135)

Nabi Shalih ‘alaihissalam pun mengajak kaumnya kepada akhlak yang mulia :

كَذَّبَتْ ثَمُودُ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ صَالِحٌ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Kaum Tsamud telah mendustakan rasul-rasul. Ketika saudara mereka, Shaleh, berkata kapada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.“ (QS. 26:141-147)

Lihat kembali kisah nabi Luth ‘alaihis salam :

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلاَ تَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَا لَمِينَ أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَاخَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ

“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul,ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertaqwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan yang (di utus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang di jadikan oleh Rabbmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. 26:160-166)

Nabi Syu’aib ‘alaihis salam :

كَذَّبَ أَصْحَابُ لْئَيْكَةِ الْمُرْسَلِينَ إِذْ قَالَ لَهُمْ شُعَيْبُ أَلاَتَتَّقُونَ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَطِيعُونِ وَمَآأَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِىَ إِلاَّعَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ وَلاَتَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَآءَهُمْ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ وَاتَّقُوا الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالْجِبِلَّةَ اْلأَوَّلِينَ

“Penduduk Aikah telah mendustakan rasul-rasul; ketika Syu’aib berkata kepada mereka: “Mengapa kamu tidak bertaqwa?, Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku; dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.” (QS. 26:176-184)

Jelaslah dakwah mereka mengajak manusia bertakwa kepada Allah, dan ketakwaan adalah sumber utama akhlak mulia, darinyalah mengalir kemulian akhlak dalam kehidupan seorang mukmin. Dengan demikian akhlak mulia adalah ketakwaan yang dapat dilihat seorang mukmin sebagai satu kebaikan dan barokah bagi masyarakat.

Hal ini dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam diatas. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan salah satu tugas penting beliau adalah mengokohkan pondasi dasar akhlak mulia, menyempurnakan dan menjelaskan ketinggiannya. Bukankah hal ini menunjukkan peran penting akhlak dalam membangun kejayaan kaum muslimin. Untuk lebih jelasnya marilah kita melihat tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang telah Allah tetapkan dalam beberapa ayat dibawah ini:

- Firman Allah Ta’ala:

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.“ (QS. Al Baqarah:151).

Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada hambaNya yang mukmin karunia nikmat yang Allah limpahkan kepada mereka, yaitu: diutusnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam untuk membacakan ayat-ayatNya dan men-tazkiyah. Tazkiyah bermakna mensucikan mereka dari kejelekan akhlak, kekotoran jiwa dan perbuatan jahiliyah”. [3]

- Firman Allah Ta’ala :

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“ (QS. Al ‘Imron:164) 

serta firmanNya:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah.Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.“ (QS. Al Jumu’ah: 2)

Tazkiyah merupakan salah satu tugas utama dan rukun dakwah para Rasul. Tazkiyah ini tidak lain adalah dengan membina umat untuk berakhlak baik dan meninggalkan akhlak yang buruk, beristiqamah dan berpegang teguh kepada ketinggian akhlak tersebut.

Demikian pentingnya akhlak dalam kehidupan masyarakat islam sampai nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjadikannya sebagai salah satu rukun dakwahnya, sebagaimana diberitakan Allah dalam firmanNya:

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَالْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلَ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّآ إِنَّكَ أَنتَالسَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا ُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَآ أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَآ إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ رَبَّنَا َابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاًمِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَالْعَزِيزُ الْحَكِيمُ 


“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdo’a):”Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (QS. Al Baqarah: 127-129)

Demikianlah Nabi Ibrahim mendidik kaum dan anak keturunannya untuk berakhlak mulia, sehingga ajaran beliau ini masih tersisa pada bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam . ini tampak jelas karena Rasulullah diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia yang dimiliki bangsa Arab waktu itu. Tentunya dengan menghilangkan seluruh akhlak yang buruk dari kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.

Akhlak yang mulia yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sangat lengkap dan bersumber dari wahyu. Akhlak yang meliputi akhlak kepada Allah dan kepada makhluknya. Akhlak kepada Allah yang meliputi keimanan dan tauhid serta beribadah kepadaNya tanpa berbuat syirik dan maksiat sedikitpun dan berakhlak dalam berhubungan sesama makhluk Allah dalam pergaulan pribadi atau masyarakat. Inilah inti ajaran islam yang dibawa para rasul.

Wahai para da’i yang ingin membangun kejayaan umat ini janganlah kalian melupakan sisi penting ini. Melupakan tazkiyah (tarbiyah) pembentukan pribadi muslim diatas akhlak yang mulia yang bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah, bersumber dari keimanan dan tauhid yang benar. Tapi ingatlah hal ini tidak sempurna tanpa melakukan tashfiyah (pemurnian agama dari ajaran selainnya) dahulu. Ikutilah dakwahnya para rasul dengan benar dan sempurna, mudah-mudahan Allah mengangkat derajat dan mengembalikan kejayaan umat ini kembali.


Faedah hadits

Diantara faedah yang dapat diambil dari hadits ini adalah:

1. Islam adalah agama yang menghilangkan kebatilan dan mengokohkan kebenaran. Hal ini tampak jelas pada sabda beliau dalam hadits ini yaitu لِأُتَمِّمَ . sehingga Islam tetap mengokohkan kemulian akhlak yang dimiliki bangsa Arab dan menyempurnakannya dengan menghilangkan keburukan dan kejelekan akhlak mereka. Dengan demikian jelaslah slogan yang menyatakan Islam adalah revolusi atau revolusi islam adalah kebatilan, karena revolusi mesti ditandai dengan penghancuran baik yang benar atau yang salah.

2. Bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah termasuk bangsa yang paling berakhlak mulia, karena mereka memiliki sebagian akhlak mulia yang mereka warisi dari ajaran nabi Ibrahim ‘alaihis salam akana tetapi mereka sesat lantaran kekufuran mereka. Lalu Allah utus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menyempurnakan kemulian dan keindahan akhlak dengan menjelaskan kesesatan mereka dan ketetapan syariat dalam hal tersebut.

3. Akhlak yang mulia memiliki kedudukan dan urgensi sangat penting dalam membangun masyarakat islam

4. Akhlak yang mulia merupakan tonggak kejayaan satu bangsa atau umat.

5. Akhlak yang mulia merupakan salah satu rukun dakwah para Rasul

6. Akhlak yang mulia meliputi akhlak terhadap Allah dan makhluknya.



Penulis : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel UstadzKholid.com

[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muslim, Syarah Shahih Muslim Lin Nawawi (6/25) , Abu Daud dalam Sunan-nya(2/40), An Nasaa’I dalam Sunan-nya (3/199), Ad Darimiy dalam Sunan-nya (1/345).

[2] Takhrij ini disarikan dari risalah “Makarimul Akhlak” karya Syaikh Saalim bin Ied Al Hilali, hal 14-15.

[3] Tafsir Ibnu Katsir, 1/186.
Beranda » tauhid 
Hakekat dan Pilar Ibadah
25 May 2009 0 Komentar

Insan kamil akan terealisasikan dalam ibadah, semakin sempurna ibadah seseorang semakin sempurna sifat kemanusiaannya. Oleh karenanya perlu sekali dijelaskan tentang hakekat dan pilar ibadah.

Makna Dan Macam Ibadah

Ibadah secara etimologi bahasa Arab bermakna merendahkan diri dan tunduk. Asal makna ibadah adalah kerendahan diri, sebagaimana perkataan orang Arab (طَرِيْقُ مُعَبَّدُ) berarti jalan yang dihinakan dan diinjak-injak oleh manusia. Sedangkan secara terminology, para ulama mengungkapkan banyak ibarat tentang makna ibadah ini, namun yang paling lengkap adalah definisi yang diungkapkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yaitu: Ibadah adalah satu nama yang meliputi segala perbuatan dan perkataan yang Allah ta’ala cintai dan ridhoi, baik yang dzohir ataupun yang batin.

Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: Ibadah hati, Ibadah lisan dan Ibadah anggota badan.

a. Ibadah Hati

Ibadah hati meliputi perkataan dan perbuatan hati. Perkataan hati adalah pembenaran dan keyakinan, seperti firman Allah:

وَالَّذِي جَآءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ لَهُم مَّايَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَآءُ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka.Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. Azzumar: 33-34

Dan firmanNya:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan ( Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Al An’am :75

Serta firmanNya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. Al Hujurat: 15

Demikian juga firman Allah ta’ala dalam mengisahkan orang munafiq:

يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّالَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ

Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. Ali Imran : 167

Sedangkan perbuatan hati berupa niyat, ikhlash, cinta, ketundukan, tawakal dan yang sejenisnya. Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal. Al Anfaal: 2

b. Ibadah lisan

Ibadah lisan meliputi perkataan dan perbuatan lisan. Perkataan lisan berupa mengucapkan dua kalimat syahadat. Allah ta’ala berfirman:

قُولُوا ءَامَنَّا بِاللهِ وَمَآأُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآأُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَمَآأُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَآأُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وِنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Katakanlah (hai orang-orang mu’min):”Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Al Baqarah: 136

Sedangkan amalan lisan adalah amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an dan dzikir serta wirid. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Faathir :29

c. Ibadah anggota tubuh

Ibadah anggota tubuh disini adalah amalan anggota tubuh selain lisan berupa amalan yang tidak dilakukan kecuali dengannya, seperti sujud, ruku’ dan lain-lainnya.

Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ وَجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللهِ هُوَ مَوْلاَكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Al Hajj: 77-78
(Lihat tulisan Dr. Abdurrozaq Al ‘Abaad dalam kitab beliau Ziyadatul Iman Wa Nuqshanuhu, hal: 22-24).

Jadi ibadah meliputi seluruh amalan hamba yang diridhoi dan dicintai Allah.

Dasar Dan Pilar Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah tidak diambil kecuali dari Al Qur’an dan Sunnah nabiNya. Semua ini karena ibadah merupakan hak khusus Allah Ta’ala, maka tidak boleh menetapkannya kecuali Allah ta’ala melalui wahyuNya yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa Al Qur’an ataupun Sunnah. Kalau demikian ibadah itu hanyalah mencontoh dan mentaati perintah Allah ta’ala dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan selainnya tertolak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada padanya perintah kami maka ia tertolak. Hadits riwayat Muslim

Sedangkan pilar ibadah ada tiga yaitu cinta (hubb), takut (khaof) dan rasa harap (raja’). Rasa cinta harus dibarengi dengan ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah ta’ala dan rasa takut harus dibarengi dengan rasa harap. Ini semua merupakan pilar ibadah dan porosnya yang beredar diatas perintah dan syari’at Allah ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah Allah ta’ala menjelaskan sifat orang mukmin dalam firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Al Maidah 5:54

Dan Allah ta’ala berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَكَانُوا لَنَاخَاشِعِينَ

Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. Al Anbiya’: 90

Sebagian salaf menyatakan: “Siapa yang menyembah Allah Ta’ala hanya dengan kecintaan (Rasa Hubb) semata, mak ia seorang zindiq. Siapa yang menyembah Allah Ta’ala hanya dengan rasa harap (Roja’) semata, mak ia seorang murji’. Siapa yang menyembah Allah ta’ala hanya dengan rasa takut (Khouf) semata, maka ia seorang Haruriy. Siapa yang menyembah Allah ta’ala dengan kecintaan, rasa takut dan rasa harap, maka ia seorang mukmin muwahid”

Demikian pilar dan dasar ibadah. Jelaslah salah pernyataan yang menyatakan bahwa ibadah yang sempurna adalah ibadah yang dilakukan semata karena kecintaan, tanpa mengharap syurga dan takut adzab Allah ta’ala.

wabillahittaufiq

Penulis: Kholid Syamhudi Lc
Beranda » TanyaUstadz 
Bagaimana Sikap Terhadap Istri Yang Selingkuh?
25 May 2009 5 Komentar

Assalamualaikum Ustadz, Ana mau tanya apakah tindakan yang paling tepat sesuai dengan tuntunan Islam jika seorang suami mengetahui istrinya selingkuh dengan laki-laki lain, dan sudah sangat diduga pernah berzina dengan laki-laki itu. Apakah suami tersebut wajib menceraikan istrinya, sementara dia masih menyayangi isterinya dan isterinya juga tidak mau sekali kalau diceraikan. Syukron ya Ustadz. Wassalam

Hamba Allah
Polewali Mandar Sulawesi Barat


Ustadz Kholid menjawab:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Kebebasan bergaul yang berkembang dan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin adalah satu musibah besar dan berimplikasi sangat buruk. Implikasi buruk ini tidak hanya mengenai sang wanita atau pria saja namun juga berakibat buruk bagi tatanan keluarga dan masyarakat. Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal. Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini. Dalam rumah tangga seorang suami haruslah menjadi pemimpin yang menampakkan kebijakan dan kemampuannya mengatur biduk rumah tangga. Perselingkuhan disamping akibat kebebasan pergaulan yang ada dimasyarakat dan diperkenankan sang suami juga terkadang disebabkan karena sikap suami yang tidak mengetahui kebutuhan istri. Penampilan suami ketika menjumpai istri, cara bergaul dan bersikap sampai cara memberikan nafkah batin terkadang dapat memicu hal tersebut. Yang jelas pergaulan wanita dengan lelaki lain secara bebas akan memberikan opini kepada wanita tipe lelaki yang lain lalu bisa jadi ia banding-bandingkan dengan suaminya. Rasa bosan dengan suami dan mulut buaya dan sikap lelaki lain pun tidak kalah berbahayanya. Oleh karena itu Syari’at islam sangat menekankan seorang wanita membatasi pergaulannya dengan lelaki asing (bukan suami dan mahramnya) dan tidak bersinggungan kecuali karena kebutuhan dan sebatas kebutuhannya saja.

Lalu bagaimana sikap suami bila sudah mendapatkan musibah demikian. Orang yang ia cintai ternyata berselingkuh dengan lelaki lain. Maaf sebelumnya, dugaan berzina yang anda sampaikan memiliki hukum sendiri. Syari’at islam sangat menjaga kehormatan wanita dan mengancam penuduh wanita berzina dengan ancaman berat. Lihat saja firman Allah:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَتَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ . إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ . وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَآءُ إِلآ أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَآ إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ .

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An-Nuur/24: 4-9)

Dalam ayat ini Allah membagi penuduh wanita mu’minah berzina dalam dua kategori:

1. Orang yang menuduh bukan suaminya, maka wajib menghadirkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya atau wanita itu mangakuinya. Apabila terjadi demikian maka wanita itu dihukum dengan hukuman pezina. Namun bila tidak mangakui dan tidak dapat menghadirkkan empat saksi maka penuduh didera (cambuk) delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya selama-lamanya kecuali bila bertaubat.

2. Suami wanita tersebut, dalam hal ini sama dengan diatas, hanya saja bila wanita tidak mengakui dan ia tidak mampu menghadirkan saksi ia tidak dikenakan hukuman dera. Akan tetapi ia harus melakukan mula’anah (saling melaknat) seperti dalam ayat diatas.

Kembali ke kasus yang anda ceritakan, bila sang istri terbukti selingkuh -walaupun tidak sampai berzina- maka tindakan yang paling tepat -menurut saya- adalah wajib menceraikannya dan tidak sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas). Sebab, istri telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.

Syaikh Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim Dunia (Rabithoh al-’Alam al-Islami)) memaparkan: “Apabila keadaan istri tidak lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2/305)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raahimahullahu Ta’ala berkata: “Jika istri berzina, maka suami tidak boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.

Adapun bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh. Wanita yang baik dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain). Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut masih membuka pintu baginya.

Karena itu nasehat saya kepada suami, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan. Dengan bertawakkal kepada Allah dan mengikhlaskan perceraian tersebut kepada Allah maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih daik darinya.

Mudah-mudahan jawaban ini memberikan pencerahan yang gamblang terhadap para suami yang tertimpa musibah memiliki istri tidak setia dan pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memilih pendamping kita. Lihat agamanya dan akhlaknya nanti kamu akan beruntung, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Beranda » Mengenal Islam 
Tugas dan Kekhususan Para Rasul Allah
25 May 2009 0 Komentar

Mengenal para Rasul yang diutus kepada umat manusia merupakan perkara penting dan sangat dibutuhkan kaum muslimin, baik berkenaan dengan iman, tugas, kekhususan dan kehidupan mereka agar dapat dijadikan suri teladan bagi manusia.

Apalagi dimasa kini dan khususnya kaum muslimin yang sudah jauh dari kenabian dan ajarannya. Sehingga sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengajak saudaranya mengenal kembali permasalahan ini sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Tugas Para Rasul

Para rasul memiliki tugas yang banyak, diantaranya:

1. Tugas agung mereka mengajak manusia beribadah kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya[1]. Dakwah kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah merupakan dasar dan jalan dakwah para rasul seluruhnya. Hal ini dikabarkan Allah Ta’ala dalam firmanNya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu‘ “ (QS. An Nahl:36)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan tugas, dasar dakwah dan inti risalah para rasul yaitu mengajak kepada tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah dan menjauhi segal sesembahan selainNya.[2]

Hal inipun disampaikan dalam firmanNya:

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : ‘Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’”. (QS. Al Anbiya: 25)

Hal ini dikarenakan para rasul diutus untuk menjelaskan jalan menuju tujuan penciptaan manusia yang Allah jelaskan dalam firmanNya:

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Demikian juga tauhid merupakan asas fitroh manusia yang diperintahkan untuk ditegakkan dalam firmanNya:

} فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” (QS. Ar Rum: 30-31)

para rasul mengajak umatnya untuk mewujudkan tauhid dalam diri-diri mereka dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk merealisikan dakwahnya tersebut. Cukuplah kisah nabi Nuh dalam surat Nuh sebagai contoh kegigihan mereka dalam mendakwahkan tauhid pada kaumnya.

2. Menyampaikan syari’at Allah kepada manusia dan menjelaskan agama yang diturunkan kepada manusia, sebagaimana firman Allah:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir“. (QS. Al Ma’idah:67).

Demikian juga firmanNya:

بِالبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan” (QS. An Nahl: 44)

3. Menunjukkan umat kepada kebaikan dan mengabarkan mereka tentang pahala yang disiapkan bagi pelaku kebaikan dan memperingatkan mereka dari kejelekan dan siksaan yang disiapkan orang-orang yang durhaka, sebagaimana firman Allah:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“ (QS. An Nisa: 165)

4. Memperbaiki manusia dengan teladan dan contoh yang baik dalam perkataan dan perbuatan, sebagaimana firman Allah :

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah:”Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (al-Qur’an)”. al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat“ (QS. Al An’am:90)

Juga ditegaskan dalam firmanNya:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS.Al Ahzab:21)

5. Menegakkan dan menerapkan syari’at Allah diantara hamba-hambaNya, firman Allah Ta’ala:

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Ma’idah:49)

6. Menjadi saksi sampainya penjelasan syariat kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَآؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka darimereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammmad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl:89)

dan firmanNya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu“ (QS. Al Baqarah:143)

Imam Abul Qasim Al Ashbahani menyatakan dalam muqaddimah kitab beliau: “Segala puji bagi Allah yang telah menampakkan tanda-tanda kebenaran lalu menjlaskannya dan telah memunculkan manhaj agama ini lalu menerangkannya. Dialah yang telah menurunkan Al Qur’an lalu seluruh hujjah ada padanya dan mengutus Muhammad sebagai Rasul, sehingga memutus seluruh alasan (untuk berpaling). Kemudian Rasulullah telah berda’wah, bersungguh-sungguh dan berjihad serta menjelaskan jalan kebenaran kepada umat ini. Beliau juga menyampaikan syariat kepada mereka syari’at agar mereka tidak menyatakan: ‘Belum datang kepada kami pemberi kabar gembira (Basyir) dan pemberi peringatan (Nadzir)’.[3]

Demikianlah beberapa tugas penting para Nabi dan Rasul.

Kekhususan Para Nabi dan Rasul[4]

Allah Ta’ala telah memilih diantara para hambaNya sebagai Nabi dan Rasul dengan memberikan beberapa kekhususan yang tidak dimiliki hamba-hambaNya yang lain. Diantara kekhususan para Nabi dan Rasul tersebut adalah:

1. Wahyu

Allah Ta’ala telah mengkhususkan mereka dengan wahyu, sehingga mereka menjadi perantara Allah dengan hamba-hambaNya. Hal ini telah ditegaskan dalam firmanNya:

قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa‘ “. (QS. Al Kahfi: 110)

Demikianlah, diantara Nabi dan Rasul ada yang langsung berbicara dengan Allah dan ada pula yang melalui perantara malaikat Jibril ‘Alaihissalam, sehingga mereka dapat mengetahui perkara-perkara gaib dengan wahyu tersebut.

2. Kemaksuman (Al Ishmah).

Seluruh umat sepakat bawha para rasul memiliki kemaksuman dalam menerima risalah Allah, sehingga mereka tidak lupa sedikitpun wahyu yang Allah turunkan kepada mereka dan memiliki kemaksuman dalam penyampaian wahyu tersebut kepada manusia. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:

سَنُقْرِئُكَ فَلاَتَنسَى

“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” (QS. Al A’laa: 6)

Dan firmanNya:

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآأُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. Al Ma’idah: 67).

Demikian juga Allah mempertegas dengan firmanNya:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ

“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu“ (QS. Al Haaqah:44-47)


3. Diberi pilihan ketika akan dicabut nyawanya

Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah Radhiallahu’anha, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّرَ بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَكَانَ فِي شَكْوَاهُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ أَخَذَتْهُ بُحَّةٌ شَدِيدَةٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَعَلِمْتُ أَنَّهُ خُيِّرَ

“Aku mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Tidak ada seorang nabipun yang sakit kecuali diminta memilih antara dunia dan akhirat’. Beliau pada sakit mendekati kematian beliau, mengeluarkan suara parau sekali, sehingga aku mendengarnya, beliau mengatakan : ‘ Bersama orang yang Allah berikan kenikmatan pada mereka dari kalangan para nabi, shidiqin, syuhada dan sholihin’. Lalu aku tahu beliau sedang diberi pilihan.[5]


4. Dikuburkan ditempat meninggalnya

Seorang Nabi bila meninggal dunia di suatu tempat, maka ia dikuburkan di tempat tersebut. Hal ini didasari hadits Abu Bakar Radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَنْ يُقْبَرَ نَبِيٌّ إِلَّا حَيْثُ يَمُوتُ فَأَخَّرُوا فِرَاشَهُ وَحَفَرُوا لَهُ تَحْتَ فِرَاشِهِ رَوَاهُ أَحْمَد

“Aku mendengar Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda seorang nabi tidak dikuburkan kecuali ditempat kematiannya dengan menyingkirkan pembaringannya dan dibuat lubang dibawah pembaringannya tersebut“[6]


5. Jasadnya tidak dimakan bumi

Allah memuliakan jasad para Nabi dengan membuatnya tidak hancur oleh tanah yang menguburnya walaupun telah berlalu waktu yang sangat lama. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ 

“Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala mengharamkan tanah menghancurkan jasad para nabi”[7]

6. Mata mereka terpejam tidur namun hatinya tetap sadar dan bangun

Demikianlah hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang berbunyi:

تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

“Mataku tidur namun hatiku tidak tidur“[8]

Berkata Anas bin Malik Radhiallahu’anhu ketika mengisahkan kisah Isra’ Mi’raj :

وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمَةٌ عَيْنَاهُ وَلَا يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذَلِكَ الْأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلَا تَنَامُ قُلُوبُهُمْ 

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam matanya tidur namun hatinya tidak tidur dan demikian juga para nabi mata mereka tidur sedang hati mereka tidak tidur“[9]

7. Tetap hidup dikuburan mereka

Para Nabi dan Rasul walaupun telah meninggal dunia, namun mereka tetap hidup dikuburannya dalam keadaan shalat, sebagaimana diberitakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabdanya:

الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ 

“Para nabi itu tetap hidup dikuburan mereka dalam keadaan sholat“[10]


Demikianlah tugas dan kekhususan para nabi secara umum dan ringkas, mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan kita dan membawa kita kepada iman yang benar terhadap mereka.

Wallahu A’lam.


Referensi :

1. Tulisan Dr. Abdulaziz Shalih Al Thowiyan dalam pengantar tahqiq kitab Al Nubuwat karya Ibnu Taimiyah, cetakan pertama tahun 1420H, Adwaa Al Salaf, Riyaadh. KSA

2. Al Rusul wal Risalaah, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan ketiga tahun 1405, Maktabah Al Falaah, Kuwait

3. Usus Manhaj Al Salaf Fi Dakwah Ila Allah karya Fawaaz Halil Al Suhaimi. cetakan pertama tahun 1423 H, Dar Ibnu Hazm, Kairo, Mesir

4. Al Hujjah Fi Bayaan Al Mahajjah wa Syarh Aqidah Ahli Sunnah karya Abul Qasim Isma’il bin Muhammad bin Al Fadhl Al Taimi Al Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Al Rabi’ Al Madkhali, cetakan ke-2 tahun 1419 H. Dar Al Raayah, Riyadh, KSA

5. Shahih Al Jami’ Al Shaghir karya Syaikh Al Alamah Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1408 H, Al Maktab Al Islami, Baerut.

6. CD Al Kutub Al Tis’ah.

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Artikel UstadzKholid.Com
[1] Disarikan dari tulisan DR. Abdul ‘Aziz Sholih Al Thawiyan dalam pengantar tahqiq kitab Al Nubuwat karya Ibnu Taimiyah, cetakan pertama tahun 1420H, Penerbit Adwaa Al Salaf, Riyadh. KSA hal 1/28 dan Al Rusul wal Risalaah, karya DR. Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan ketiga tahun 1405, Maktabah Al Falaah, Kuwait hal. 43-45 dengan tambahan dari beberapa referensi yang akan penulis isyaratkan dalam catatan kaki.


[2]. Ushul manhaj Al Salaf Fi Dakwah Ila Allah karya Fawaaz Halil Al Suahaimi. Cetakan pertama tahun 1423 H, Dar Ibnu Hazm, Kairo, Mesir hal 85.

[3] Al Hujjah Fi Bayaan Al Mahajjah wa Syarh Aqidah Ahli Sunnah, karya Abul Qasim Isma’il bin Muhammad bin Al Fadhl Al Taimi Al Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Al Rabi’ Al Madkhali, cetakan ke-2 tahun 1419 H. Dar Al Raayah, Riyadh, KSA hal 1/93.

[4] Disarikan dari Al Rusul wal Risalaah, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, op.cit hal 90-115

[5] Diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, di kitab Tafsier Al Qur’an, no. 4220.

[6] Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam kitab Tahdzir Al Saajid hal 10-11 dan Shahih Al Jami’ Al Shaghir no. 5201, lihat Shahih Al Jami’ Al Shaghir 2/923.

[7] Hadits riwayat Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Al Shalat Bab fil Istighfar no. 1308

[8] Hadits riwayat Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3304.

[9] Hadits riwayat Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Manaaqib, Bab An Nabi Tanamu Ainaahu Wala Yanam Qalbuhu no. 3305.

[10] Hadits shahih, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Al Shoghir no 2790 dan beliau isyaratkan hadits ini riwayat Al Bazaar, Abu Nu’aim dan Ibnu Asaakir.