Jumat, 03 April 2009

Adab - Adab Terhadap Al-Qur'an
Tanggal posting: 11-08-06
Penulis: Cyber Muslim
Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalamulloh, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur'anul Karim itu Kalamulloh yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur'an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta'ala. 

Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur'an. Sebagaimana sabda Nabi ShallAllohu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR. Bukhari). 

Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan, yang artinya: "Bacalah Al-Qur'an, sesungguhnya Al-Qur'an itu akan menjadi syafa'at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya)." (HR. Muslim). 

Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur'an, di saat membaca Al-Qur'an seorang Muslim perlu memperhatikan adab-adab yang akan disampaikan pada tulisan berikut ini. 

Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur'an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma' umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59). 

Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Siapa saja yang membaca Al-Qur'an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami" (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-KitabSunan). 

Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur'an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur'an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit g, mereka mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam seminggu. 

Di dalam sebuah ayat Al-Qur'an, Alloh Ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih, yang artinya: "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' (QS. Al-Isra': 109). 

Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam, yang artinya: "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). 

Di dalam hadits lain dijelaskan: "Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur'an" (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 

Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur'an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj huruf nya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid. 

Membaca Al-Qur'an dimulai dengan Isti'adzah.Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan bila kamu akan membaca Al-Qur'an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (QS. An-Nahl: 98). 

Apabila ayat yang dibaca dimulai dari awal surat, setelah isti'adzah terus membaca Basmalah, dan apa bila tidak di awal surat cukup membaca isti'adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti'adzah saja. 

Membaca Al-Qur'an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalam nya. Firman Alloh Ta'ala, yang artinya: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an, ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24). 

Membaca Al-Qur'an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu'. Rasulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur'an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah" (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ahmad). 

Dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya: "Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur'an)" (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Bai haqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim). 

Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur'an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam. 

Dengarkan bacaan Al-Qur'an. Jika ada yang membaca Al-Qur'an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Alloh Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan tatkala dibacakan Al-Qur'an, maka dengar kanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat" (QS. Al-A'raaf: 204). 

Membaca Al-Qur'an dengan saling bergantian yang bertujuan untuk pendidikan atau mempelajari Al Qur'an. Yang mendengarkannya harus dengan khusyu' dan tenang. Rasulullah bersabda, yang artinya: "Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Alloh, mereka membaca Al-Qur'an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Alloh), para malaikat menyertai mereka, dan Alloh membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya." (HR. AbuDawud). 

Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konse kuensi kita beriman ke-pada Al-Qur'an. 

(Sumber Rujukan: Minhajul Muslim, Fiqih Sunnah, At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur'an) 


courtesy of www.mediamuslim.info













Kewajiban Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah:183-185)
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
 
Sementara itu kaum muslimin bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat. Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari’at tadi maka dia itu muslim kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.
 
Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriyyah. Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat melakukannya selama sembilan kali.
 
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah ‘aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia masuk Islam. Puasa juga tidak wajib bagi anak kecil sampai dia ‘aqil baligh. ‘Aqil balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut kemaluannya atau keluar air mani (sperma) ketika bermimpi.
 
Ini bagi anak laki-laki, sementara bagi anak wanita ditandai dengan haidh (menstruasi). Maka jika seorang anak telah mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah ‘aqil baligh.
 
Akan tetapi dalam rangka sebagai latihan dan pembiasaan, sebaiknya seorang anak (yang belum baligh -pent) disuruh untuk berpuasa, jika kuat dan tidak membahayakannya.
 
Puasa juga tidak wajib bagi orang yang kehilangan akal, baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya. Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih tetap idiot dan tidak berakal sehat, maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula menggantinya dengan membayar fidyah.

Hikmah dan Manfaat Puasa
 
Shaum (puasa) yang disyari’atkan dan difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mempunyai hikmah dan manfaat yang banyak sekali. Di antara hikmah puasa adalah bahwasanya puasa itu merupakan ibadah yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli istri dalam rangka untuk mendapatkan ridha Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaan (yaitu kampung akhirat -pent).

Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia.

Hikmah puasa yang lain adalah bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari’at). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
 
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari’atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum dan menggauli istri.
 
Apabila kita membaca ayat tersebut, maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah.
 
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
 
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar mereka, menjual barang dagangan yang haram, mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan seperti lagu-lagu, musik ataupun nasyid, yang itu semuanya dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.
 
Apabila seseorang mengerjakan semuanya itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah maka itu akan memudahkannya kelak untuk istiqamah di bulan-bulan tersisa lainnya dalam tahun tersebut.
 
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya, mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman, mereka tidak merasakan keagungan dan kehormatan puasa.
 
Perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya, bahkan seringkali perbuatan-perbuatan tersebut merusak pahala puasa sehingga hilanglah pahalanya.
 
Hikmah puasa yang lainnya adalah seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu di mana Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah secara syar’i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang miskin, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia akan berderma kepadanya dalam bentuk shadaqah dan perbuatan yang baik lainnya.
 
Di antara hikmah puasa juga adalah melatih seseorang untuk menguasai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia akan mampu memimpin jiwanya untuk meraih kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan.
Puasa juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan membahayakan tubuh. Juga manfaat lainnya dari puasa sangat banyak.

Adab-adab Berpuasa
1. Bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah semata, bukan karena riya`, sum’ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negerinya bahkan wajib baginya bahwa yang membawanya berpuasa adalah keimanannya bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa tersebut kepadanya dan mengharap pahala di sisi-Nya dalam melaksanakan puasa tersebut. Demikian juga shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih -pent), hendaklah bagi seorang muslim untuk mengerjakannya karena penuh keimanan dan mengharap pahala kepada-Nya, karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yanga artinya): "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala kepada Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang shalat di malam harinya (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu dan barangsiapa yang shalat malam bertepatan dengan datangnya lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu." 
2. Termasuk adab terpenting dalam berpuasa adalah membiasakan diri kita bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sesuai dengan firman Allah (yang artinya):"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183). Sesuai pula dengan sabda Nabi (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903) 
3. Menjauhi apa yang diharamkan Allah berupa kebohongan, mencela, mencaci, menipu, khianat, melihat sesuatu yang haram seperti melihat lawan jenisnya yang bukan mahramnya, mendengarkan hal yang haram seperti musik, nyanyian, mendengarkan ghibah, ucapan dusta dan sejenisnya, serta perbuatan haram lainnya yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, akan tetapi terhadap orang yang puasa lebih dikuatkan perintahnya. 
4. Memperbanyak shadaqah, amal kebaikan, berbuat baik kepada orang lain, terutama di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan tatkala Jibril menjumpainya untuk bertadarrus Al-Qur`an. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1902) 
5. Makan sahur dan mengakhirkannya, sesuai sabda Nabi (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur ada barakah." (HR. Al-Bukhariy no.1923 dan Muslim no.1095) 
6. Berbuka puasa dengan ruthab (kurma yang sudah matang), jika tidak didapatkan boleh dengan tamr (kurma yang belum sampai ruthab), jika itupun tidak diperoleh maka dengan air, menyegerakan berbuka tatkala telah jelas benar tenggelamnya matahari, berdasarkan sabda Nabi (yang artinya): "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idiy)
Diambil dari kitab Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain serta kitab Fataawal ‘Aqiidah wa Arkaanil Islaam karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan beberapa perubahan
 
Wallaahu A’lam.
 
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: "Kewajiban, Hikmah, dan Adab-adab Puasa Ramadhan"
Edisi ke-47 Tahun ke-2 / 15 Oktober 2004 M / 01 Ramadhan 1425 H 
 




Bismillaahirrahmaanirrahiim
Edisi : 46/VII, 10 Ramadhan 1418, 09 Januari 1998. 
Shadaqah Amal Utama 
Waktu terus berjalan, jarum jam terus berputar, siang berganti malam, tanpa terasa kini kita telah berada di penghujung sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Pertanyaannya, sudah seriuskah kita menjalani ibadah shiyam Ramadhan tahun ini? Mumpung kita masih belum jauh beranjak dari bulan Ramadhan, sebaiknya kita koreksi diri. Terhadap hal-hal yang ditabukan, apakah sudah kita tinggalkan? Maksiat mata, telinga, tangan, kaki, dan hati, apakah sudah kita jauhi?
Begitu juga terhadap amalan sunnah yang utama, apakah sudah kita kerjakan? Shadaqah, berapa fakir miskin dan yatim piatu yang kita santuni? Tartilul Qur'an, sudah sampai juz ke berapa kita membacanya, apakah sudah kahatam? Qiyamur-Ramadhan, bolong-bolong atau lengkap setiap malam? Do'a dan dzikir, apakah sudah serius kita lakukan?
Tulisan ini kembali mengingatkan kita tentang arti pentingnya shadaqah pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi. Dengan mengkaji bab ini kiranya bisa membangkitkan kesadaran kita untuk bershadaqah, membantu saudara-saudara kita yang masih dililit oleh kemiskinan. Semoga gerakan pengentasan kemiskinan tidak hanya menjadi slogan kosong, tapi menjadi amalan kongkrit, khususnya di bulan Ramadhan ini.
Jika kesadaran bershadaqah di kalangan ummat Islam tumbuh, insya Allah proyek pengentasan kemiskinan dapat tercapai. Tidak mungkin kita hanya berharap kepada pemerintah saja, sebab dananya sangat terbatas. Untuk itu pekerjaan ini kita angkat bersama-sama dengan menggerakkan kesadaran bershadaqah. Toh, mereka yang miskin adalah ummat kita sendiri.
Jika bukan kita yang mengentas mereka, siapa lagi yang diharapkan memberikan bantuannya? Boleh jadi orang lain yang datang memberi bantuan dan sokongan, tapi di balik itu mereka juga membawa missi tersendiri. Alangkah banyaknya ummat Islam yang murtad dari agamanya hanya gara-gara sekilo beras dan sekerat roti. Bagaimana tanggung jawab kita?
Melalui Ramadhan, sebenarnya kita diberi pelajaran oelh Allah agar tidak melupakan saudara-saudara kita yang fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang tidak mampu lainnya. Dengan puasa kita menahan diri dari makan dan minum agar kita dapat merasakan lapar dan haus, untuk kemudian menyadari bahwa ada di sekeliling kita banyak orang yang terpaksa tidak makan. Mereka tidak makan bukan karena puasa, tapi memang tidak ada yang dimakan. Jumlah mereka masih banyak, jutaan sebagaimana sering disitir oleh presiden.
Satu kali seorang ulama salaf ditanya, untuk apa disyari'atkan berpuasa? Dia menjawab, "Supaya orang-orang kaya menderita rasa lapar, agar jangan melupakan nasib orang-orang yang lapar." Khusus pada bulan Ramadhan ini kita disunnahkan untuk memperbanyak shadaqah. Ada beberapa alasan, kenapa Rasulullah mengajarkan kepada kita memperbanyak shadaqah di bulan ini.
Pertama, pahalanya dilipatgandakan
Sebagaimana diketahui bahwa Ramadhan adalah bulan istimewa. Setiap amalan manusia diperhitungkan secara lebih, bahkan berlipat ganda. Karenanya shadaqah di bulan ini akan mendatangkan pahala yang luar biasa. Rasulullah sendiri bersabda, "Seutama-utama shadaqah adalah di bulan Raamadhan." (HR. Tirmidzi)
Bukan berarti kita baru bersedekah jika datang bulan Ramadhan dan di luar itu yang bakhil tetap bakhil. Jika demikian, tentu salah kita dalam memahami konteks ajaran ini. Di luar bulan Ramadhan kita bershadaqah, tapi khusus di bulan ini kita tingkatkan. Jika biasanya menggunakan uang recehan, di bulan Ramadhan menggunakan uang bergambar Pak harto. Jika di luar Ramadhan hanya selembar, di bulan suci bisa berlembar-lembar.
Bershadaqah ini tidak terbatas pada pemberian harta benda saja. Rasulullah mencontohkan kepada kita agar dalam bulan Ramadhan bermuah hati dan berlapang dada dalam segala pemberian. Bila kita punya kelebihan ilmu, kita ajarkan kepada orang lain. Jika punya kelebihan harta, kita salurkan kepada fakir miskindan yatim piatu. Jika yang kita miliki tenaga, tidak ada salahnya kita gunakan untuk memberi pertolongan kepada orang lain. Tenaga kita yang sehat ini bisa juga kita abdikan untuk mengangkat kepentingan Islam, dengan aktif menghidup-hidupkan syi'ar Islam.
Pernah suatu kali Nabi mendapat hadiah selimut dari sahabatnya, lalu beliau memakainya. Tak lama kemudian ada orang datang meminta selimut itu, walaupun beliau sendiri sangat membutuhkannya, beliau tidak menolak permintaan itu.
Kedua, memudahkan orang lain beribadah
Banyak di antara kaum muslimin yang kekurangan pangan, termasuk untuk berbuka puasa. Dengan bersedekah pada bulan Ramadhan ini, kaum muslimin yang kekurangan tersebut dapat tenang melaksanakan ibadah puasanya, sebab makanan berbuka sudah tersedia. Mereka juga dengan mudah dapat melaksanakan ibadah-ibadah yang lain, sebab tidak diburu-buru untuk mencari sesuap nasi.
Bagi mereka yang bersedekah dengan jalan menyediakan makan untuk berbuka, pahalanya akan berlipat ganda. Pahala yang diterima sebanding dengan nilai puasa orang yang diberinya makan. 
"Barangsiapa memberi makan berbuka kepada seseorang yang berpuasa, niscaya dia memperoleh pahala sebagaimana yang diperoleh oleh orang yang berpuasa itu dengan tidak kurang sedikitpun." (HR. Ahmad)
Itulah sebabnya Ibnu Umar selalu berbuka puasa bersama fakir miskin. Jika keluarganya tidak menyediakan hidangan berbuka untuk mereka, ia rela menahan lapar hingga malam. Jika di tengah-tengah makan datang orang miskin, ia rela memberikan makanannya kepada orang tersebut.
Suatu ketika Imam Ahmad memegang roti untuk berbuka, tiba-tiba datang orang meminta-minta, maka ia berikan roti itu, sedang ia sendiri rela tidak makan hingga semalam. Inilah amaliyah para sahabat dan para ulama salaf.
Ketiga, Allah bermurah tangan di bulan ini
Kepada orang-orang yang suka memberi, Allah akan memberikan balasan dengan pemberian yang lebih banyak lagi. Allah akan mengasihi hamba-Nya yang penuh kasih. "Sesungguhnya Allah merahmati hamba-Nya yang bersifat kasih saja." (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, dengan puasa dan sedekah, wajib atasnya syurga
Rasulullah bersabda, "'Bahwasanya di dalam syurga ada beberapa bilik yang dapat dilihar punggungnya dari perutnya, dapat dilihat perutnya dari punggungnya.' Bertanya para sahabat, 'Untuk siapakah bilik itu ya Rasulullah?' Rasulullah menjawab, 'Untuk orang-orang yang mewangikan tuturkatanya, memberi makan fakir miskin, mengekalkan puasa, dan bershalat malam di kala manusia dalam keadaan tidur.'" (HR. Ahmad)
Kiranya amalan-amalan baik seperti shalat malam, memberi makan kepada fakir miskin, juga berkata-kata yang baik menjadi tradisi dan budaya ummat Islam. Jika demikian, syurga akan disediakan khusus baginya.
Kelima, segala kesalahan akan tertutupi
Shadaqah tidak hanya berpahala, tapi bisa menutupi kita dari segala salah dan dosa. Artinya segala kesalahan kita akan diampuni oleh Allah SWT. Dengan demikian shadaqah dapat menghindarkan seseorang dari siksa api neraka. Dalam hal ini Rasulullah berpesan kepada kita, "Peliharalah dirimu dari api neraka, walaupun dengan sebelah biji anak korma." (HR. Abu Ya'la)
Artinya jelas, sekecil apapun kemampuan kita untuk bershadaqah, lakukanlah. Insya-Allah dengan amalan yang kecil itu kita terhindar dari api neraka. Tentu saja jika kita punya kemampuan lebih, kita harus bershadaqah sesuai dengan kemampuan kita.
Abu Da'da berpesan, "Bershalatlah kamu dalam kegelapan malam dua rakaat, untuk menentang kegelapan kubur. Berpuasalah kamu di hari yang sangat panas, untuk menentang kepanasan di hari mahsyar. Dan bershadaqahlah kamu dengan suatu shadaqah untuk melawan kesukaran di hari kiamat yang menyulitkan." 



Dalam rangka mempersiapkan diri kita menghadapi bulan Ramadhan, mari kita kenali hal-hal yang dapat mengotori bulan suci ini. Setelah kita mengenal ritual-ritual ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah dalam bulan Ramadhan, tidak kalah penting untuk diketahui adalah hadits-hadits lemah dan palsu seputar Ramadhan.


Bulan ramadhan merupakan bulan yang dltunggu kedatangannya oleh seluruh kaum muslimin. Berbagal macam keglatan diadakan dalam rangka memanfaatkan bulan Ini. Diantara kegiatan yang sering diadakan adalah ceramah atau ta’llm. Kegiatan Inl sangat membantu kaum muslimin dalam mengenal
agama Islam ini.

Namun sangat disayangkan, banyak diantara para da’i ini yang menyampalkan hadits-hadits dha’if (derajatnya lemah), bahkan hadits maudhu’ (palsu).

Padahal mestlnya kita berhati-hati dalam menyampaikan sebuah hadits.
Kita harus tahu dulu derajat hadits tersebut Jika kita sudah mengetahui,
bahwa hadits tersebut maudhu’, namun kfta tetap menyampaikannya, berartl
terkena ancaman berdusta atas nama Rasulullah yang balasannya adalah
neraka. Wal iyadzu billah.

Berikut ini kami sampaikan beberapa hadits dhaif dan maudhu’ yang
banyak beredar di masyarakat bekaitan dengan bulan Ramadhan. Semoga
bermanfaat.

1. Bulan Ramadhan itu permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan),
dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. 

Hadits munkar. Diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa
(172), Ibnu Adi (1/165), Al Khatib dalam Al Muwadhdhih (2/77), Ad
Dailami (1/1/10-11), Ibnu ‘Asakir (8/506/1), dari jalan Sallam bin
Siwar dari Maslamah bin Ash Shalt dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari
Abu Hurairah secara marfu’. Al ‘Uqaili berkata,"Tidak ada
asalnya dari Az Zuhri."

Ibnu Adi berkata, "Dan Sallam (bin Sulaiman bin Siwar), menurutku
adalah seorang munkarul hadits, dan Maslamah tidak dikenal."
Sedangkan Ibnu Abi Hatim mengatakan tentang Maslamah-,"Dia
itu matrukul hadits." 
HREF="#foot96">2

2. Shalat Jum’at di Madinah seperti seribu shalat di tempat lain, dan
puasa bulan Ramadhan di Madinah seperti puasa seribu bulan di tempat
lain. 

Hadits -dengan lafadz seperti. ini- adalah maudhu’ (palsu).
Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam Minhajul Qashidin 1/57/2 dan dalam
Al llal Al Wahiyah 
HREF="#foot97">3 2/86-87, dan Ibnu An Najjar dalam Ad Durar Ats Tsaminah Fi Tarikh
Al Madinah (337), dari jalan Umar bin Abu Bakar Al Mushili dari Al
Qasim bin Abdullah dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Auf dari
Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’.

Namun, dalam jalan periwayatan ini terdapat periwayat-periwayat yang
matruk dan pendusta, yaitu:

1. Katsir bin Abdullah bin Amr bin ‘Auf. Imam Asy Syafi’i berkata,"Dia
adalah saiah satu rukun dusts (yakni pendusta)."
2. Al Qasim bin Abdullah, yakni Al Amri AI Madani. Imam Ahmad berkata,
"Dia pemah ..memaisukan hadits.
3. Umar bin Abu Bakar Al Mushili. Abu Hatim berkata, "Dia seorang
yang matruk dan dzahlbul hadits (maksudnya yakni ditinggaikan haditsnya)."

HREF="#foot98">4

3. Dail Anas berkata, Nabi pernah ditanya, "Puasa apa yang paling
utama setelah Ramadhan?" Beliau menjawab, "(Puasa)
Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan." Beliau ditanya lagi,
"Shadaqah manakah yang lebih utama?" Beliau menjawab,
"Shadaqah di bulan Ramadhan." 

Hadits dha’if. Diriwayatkan oleh At Turmudzi 1/129, Abu Hamid
Al Hadhrami dalam haditsnya, dan dari jalannya Al Hafizh Al Qasim
bin AI Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan dalam Al Amalfi (majiis 47/2/2)
dan Adh Dhiya’ Al Maqdisi dalam AlMuntaqa Minal Masmu’at Bi Marwu7/1
dari jalan Shadaqah bin Musa dari Tsabit dari Anas 
HREF="#foot99">5

Abu isa At Turmudzi berkata,"Ini adalah hadits ghalib (satu
jalan periwayatannya), dan Shadaqah bin Musa 
HREF="#foot44">6 menurut mereka (ahli hadits) tidak begitu kuat (haditsnya)."

Dalam At Ta’liq, Imam Ahmad berkata tentangnya, "Aku tidak
mengenalnya." 
HREF="#foot100">7 Adz Dzahabi dalam Adh Dhu’afa 
HREF="#foot101">8 menyebutkan tentangnya (Shadaqah bin Musa), "Mereka (ahii
hadits) telah mendha’ifkannya."

Dan Ibnu Hajar menyebutkannya dalam At Tagrib (Taqrib At Tandzib no.
2921.) "Dia itu shaduq (jujur), tapi mempunyai beberapa kesalahan."
Al Mundziri dalam At Targhib 1/79 mengisyaratkan perihal dha’ifnya
hadits ini. 
HREF="#foot102">9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar