Selasa, 20 Oktober 2009

Beranda » Muslimah 
Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)
13 October 2009 3 Komentar Download PDF 

Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.

Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.

Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan (ekstrem).

Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.

Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Beranda » Muslimah 
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)
13 September 2009 1 Komentar Download PDF 

Ketujuh, Sahl bin Sa’d berkata,

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…

“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi (pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).

Kedelapan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain,

وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ

“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66)

Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.” dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).

Kesembilan, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,

أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …

“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).

Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).

Kesepuluh, Abdurrahman bin ‘Abis,

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ

“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”

Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).

Kesebelas, dari Subai’ah binti Al-Harits,

أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ

Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)

Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).

Keduabelas, Atha bin Abi Rabah berkata,

قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا

Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Ketiga belas, Ibnu Abbas berkata,

كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )

Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat),

وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).

Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

Keempat belas, Ibnu Mas’ud berkata,

رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)

Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.

Kelima belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)

Keenam belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.

Ketujuh belas, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 7-9).

Kedelapan belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Beranda » Muslimah 
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (3)
31 August 2009 0 Komentar Download PDF 

Pada artikel yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. Sekarang -insya Allah- akan disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkannya.

Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan

Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.

Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)

Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam).

Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.

Kedua, firman Allah,

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73).

Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).

Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)

Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,

يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)

Jarir bin Abdullah berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)

Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).

Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا

Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)

Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).

(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam).

(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”

Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).

(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).

Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)

Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).

Keenam, Ibnu Abbas berkata,

أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)

Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)

Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Beranda » Muslimah 
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (2)
8 August 2009 2 Komentar Download PDF 

Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:

أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ

“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ

“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Keenam belas, ‘Aisyah berkata:

كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)

Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)

Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ

Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)

Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”

Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:

وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي

“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)

Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:

خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ

“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)

Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).

Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.

(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Ringkasan Dalil-Dalil di Atas

Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point:
Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
Ijma yang mereka nukilkan.
Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.

Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar

Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Beranda » Muslimah 
Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (1)
8 June 2009 12 Komentar Download PDF 

Berikut ini akan kami paparkan secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.

Pertama, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka” (QS. An Nur: 31)

Allah ta’ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Kedua, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)

Ibnu Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486). Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.

Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)

Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Keempat, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)

Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Kelima, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60)

Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. (LihatRisalah Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah“Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (QS An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/523)

Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati Anda, Allah telah berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)

Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?” Kami menjawab:

وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)

Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/524)

Keenam, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)

Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).

Ketujuh, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.”(Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)

Qatadah berkata tentang firman Allah ini (QS. Al Ahzab: 59), “Allah memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.” (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)

Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.”(Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)

Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)

As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:
Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
Dalam firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.

(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kedelapan, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لاَّ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا

“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 55)

Ibnu Katsir berkata, “Ketika Allah memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.”Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya.

Kesembilan, firman Allah:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)

Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

Kesepuluh, firman Allah:

يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)

Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi:
Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.
Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.
Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.

(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul ‘Ashimah).

-bersambung insya Allah-

***

[Artikel ini diedit dan pertama kali dipublikasikan oleh Muslimah.Or.Id]

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
At Tauhid edisi V/18

Oleh: Yulian Purnama

Pepatah lama mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Demikianlah, kadang seorang membenci sesuatu, padahal ia tidak mengenal apa yang ia benci itu. Bisa jadi bila ia mengenalnya, bukan benci namun cinta yang diberikan. Demikianlah yang terjadi pada dakwah Salafiyah atau disebut juga Salafi. Banyak orang bergunjing tentang Salafi, padahal ia tidak mengenal bagaimana sebenarnya Salafi atau dakwah salaf itu. Hasilnya, timbullah tuduhan dan anggapan-anggapan buruk yang keji. Bahkan sampai ada yang menuduh bahwa Salafi adalah aliran sesat! Sungguh Allah-lah tempat memohon pertolongan.

Kenalilah Istilah Salafi

Salaf secara bahasa arab artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Lihat Qomus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari-Muslim)

Tiga generasi yang dimaksud adalah generasi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat, generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in. Sering disebut juga generasi Salafus Shalih. Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut. Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata, “Seseorang yang mencari teladan, hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka adalah orang-orang yang paling mulia hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya, paling benar bimbingannya, paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan agamanya. Kenalilah keutamaan mereka. Ikutilah jalan hidup mereka karena sungguh mereka berada pada jalan yang lurus.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Kemudian dalam kaidah bahasa arab, ada yang dinamakan dengan isim nisbah, yaitu isim (kata benda) yang ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan di-kasroh, untuk menunjukkan penisbatan (penyandaran) terhadap suku, negara asal, suatu ajaran agama, hasil produksi atau sebuah sifat (Lihat Mulakhos Qowaid Al Lughoh Ar Rabiyyah, Fuad Ni’mah). Misalnya yang sering kita dengar seperti ulama hadits terkemuka Al-Bukhari, yang merupakan nisbah kepada kota Bukhara (nama kota di Uzbekistan) karena Al-Bukhari memang berasal dari sana. Ada juga yang menggunakan istilah Al-Hanafi, berarti menisbahkan diri pada madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami bahwa Salafi maksudnya adalah orang-orang yang menisbahkan (menyandarkan) diri kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata lain “Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka”. (Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, hal. 10)

Sehingga dengan penjelasan ini jelaslah bahwa orang yang beragama dengan mengambil sumber ajaran Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi, DENGAN SENDIRINYA ia seorang Salafi. Tanpa harus mendaftar, tanpa berbai’at, tanpa iuran anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus ikut pengajian tertentu, dan tanpa harus memakai busana khas tertentu. Maka Anda yang sedang membaca artikel ini pun seorang Salafi bila anda selama ini mencontoh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam beragama. 

Jika pembaca sekalian memahami penjelasan di atas, maka seharusnya telah jelas bahwa dakwah salafiyyah adalah Islam itu sendiri. Dakwah Salafiyyah adalah Islam yang hakiki. Mengapa? Karena dari manakah kita mengambil sumber pemahaman Al Qur’an dan hadits selain dari para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Apakah ada sumber lain yang lebih terpercaya? Apakah Islam dipahami dengan selera dan pemahaman masing-masing orang? Bahkan jika seseorang dalam memahami Al Qur’an dan hadits mengambil sumber dari yang lain, maka dapat dipastikan ia telah mengambil jalan yang salah. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilaly setelah menjelaskan surat An Nisa ayat 115 berkata, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqot, Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Salah Kaprah Tentang Salafi

Di tengah masyarakat, banyak sekali beredar syubhat (kerancuan) dan kalimat-kalimat miring tentang Salafi. Dan ini tidak lepas dari dua kemungkinan. Sebagaimana dijelaskan Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ketika ditanya tentang sebuah syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang berkembang di masyarakat ini tidak lepas dari 2 kemungkinan: Disebabkan ketidak-pahaman atau disebabkan adanya i’tikad yang buruk. Jika karena tidak paham, maka perkaranya mudah. Karena seseorang yang tidak paham namun i’tikad baik, jika dijelaskan padanya kebenaran ia akan menerima, jika telah jelas baginya kebenaran dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun kemungkinan yang kedua, pada hakikatnya ini disebabkan oleh fanatik golongan dan taklid buta, -dan ini yang lebih banyak terjadi- dari orang-orang ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan pelaku bid’ah yang mereka memandang bahwa manhaj salaf akan membuka tabir penyimpangan mereka.” (Ushul Wa Qowa’id Fii Manhajis Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri )

Dalam kesempatan kali ini akan kita bahas beberapa kerancuan tersebut.

1. Salafi Bukanlah Sekte, Aliran, Partai atau Organisasi Massa

Sebagian orang mengira Salafi adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun salafi adalah manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafi jika ia beragama Islam dengan manhaj salaf tanpa dibatasi keanggotaan.

Sebagian orang juga mengira dakwah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid yang ringkasnya, “Dakwah salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam Mazhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan syariat yang berasal dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan nash dan ijma” (Ushul Wa Qowaid Fii Manhajis Salaf)

Oleh karena itu, dalam dakwah salafiyyah tidak ada ketua umum Salafi, Salafi Cabang Jogja, Salafi Daerah, Tata tertib Salafi, AD ART Salafi, Alur Kaderisasi Salafi, dan tidak ada muassis (tokoh pendiri) Salafi. Tidak ada pendiri Salafi melainkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi melainkan Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat.

2. Salafi Gemar Mengkafirkan dan Membid’ahkan?

Musuh utama seorang muslim adalah kekufuran dan kesyirikan, karena tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya agar makhluk-Nya hanya menyembah Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh kesyirikan adalah kezaliman yang paling besar” [QS. Luqman: 13]. Setelah itu, musuh kedua terbesar seorang muslim adalah perkara baru dalam agama, disebut juga bid’ah. Karena jika orang dibiarkan membuat perkara baru dalam beragama, akan hancurlah Islam karena adanya peraturan, ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-orang belakangan. Padahal Islam telah sempurna tidak butuh penambahan dan pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim)

Maka tentu tidak bisa disalahkan ketika ada da’i yang secara intens mendakwahkan tentang bahaya syirik dan bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk kesyirikan dan kebid’ahan agar umat terhindar darinya. Bahkan inilah bentuk sayang dan perhatian terhadap umat.

Kemudian, para ulama melarang umat Islam untuk sembarang memvonis bid’ah, sesat apalagi kafir kepada individu tertentu. Karena vonis yang demikian bukanlah perkara remeh. Diperlukan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah serta memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam hal ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata, “Dalil-dalil terkadang menunjukkan bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur, atau perkataan tertentu adalah perkataan kufur. Namun di sana terdapat faktor yang membuat kita tidak memberikan vonis kafir kepada individu tertentu (yang melakukannya). Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak tahu, atau karena ia dikalahkan oleh orang kafir dalam perang.” (Fitnah At Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani)

Dari sini jelaslah bahwa menjelaskan perbuatan tertentu adalah perbuatan kufur bukan berarti memvonis semua pelakunya itu per individu pasti kafir. Begitu juga menjelaskan kepada masyarakat bahwa perbuatan tertentu adalah perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis pelakunya pasti ahlul bid’ah. Syaikh Abdul Latif Alu Syaikh menjelaskan: “Ancaman (dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap perbuatan dosa besar terkadang tidak bisa menyebabkan pelakunya per individu terkena ancaman tersebut” (Ushul Wa Dhawabith Fi At Takfir, Syaikh Abdul Latif bin Abdurrahman Alu Syaikh)

3. Salafi Memecah-Belah Ummat?

Untuk menjelaskan permasalahan ini, perlu pembaca ketahui tentang 3 hal pokok. Pertama, perpecahan umat adalah sesuatu yang tercela. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran: 103). Kedua, perpecahan umat adalah suatu hal yang memang dipastikan terjadi dan bahkan sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga, persatuan Islam bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul bersama, dengan keadaan aqidah yang berbeda-beda. Mentoleransi segala bentuk penyimpangan, yang penting masih mengaku Islam. Bukan itu persatuan Islam yang diharapkan. Perhatikan baik-baik hadits tadi, saat umat Islam berpecah belah seolah-olah Rasulullah memerintahkan untuk bersatu pada satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj salaf.

Sehingga ketika ada seorang yang menjelaskan kesalahan-kesalahan dalam beragama yang dianut sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas Islam, bukanlah upaya untuk memecah belah ummat. Melainkan sebuah upaya untuk mengajak ummat BERSATU di satu jalan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tersebut. Bahkan adanya bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam itulah yang menyebabkan perpecahan ummat. Karena mereka tentu akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka masing-masing, loyal kepada peraturan mereka masing-masing, loyal kepada tradisi mereka masing-masing, bukan loyal kepada Islam!!

Selain itu, jika ada saudara kita yang terjerumus dalam kesalahan, siapa lagi yang hendak mengoreksi kalau bukan kita sesama muslim? Tidak akan kita temukan orang kuffar yang melakukannya. Dan bukankah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR. Muslim). Dan jika koreksi itu benar, bukankah wajib menerimanya dan menghempas jauh kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

4. Salafi Aliran Sesat?

Orang yang menuduh dakwah salafiyyah sebagai aliran sesat, seperti dijelaskan oleh Syaikh Ubaid, bisa jadi ia memang orang awam yang belum mengenal apa itu salafi, atau bisa jadi ia orang benci kepada dakwah salafiyyah karena dakwah ini telah membuka tabir yang selama ini menutupi penyimpangan-penyimpangan yang dimilikinya.

Anggapan ini sama sekali tidak benar karena dua hal. Pertama, dakwah salafiyyah bukan aliran atau sekte tertentu dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan. Kedua, sebagaimana telah diketahui bahwa sesuatu dikatakan tersesat jika ia telah tersasar dari jalan yang benar, dan menempuh jalan yang salah. Maka bagi yang menuduh hendaknya mendatangkan bukti bahwa dakwah salafiyyah menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang benar. Niscaya mereka tidak akan bisa mendatangkan buktinya.

Sebagaimana yang dijelaskan Majelis Ulama Indonesia Jakarta Utara dalam menanggapi kalimat-kalimat miring yang menuduh bahwa salafi adalah aliran sesat, dalam surat edaran MUI Jakarta Utara tanggal 8 April 2009 berjudul “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”. Dalam surat edaran tersebut ditetapkan:

a) Pertama, penjelasan tentang Salaf/Salafi:
Salaf/Salafi tidak termasuk ke dalam 10 kriteria sesat yang telah ditetapkan oleh MUI. Sehingga Salaf/Salafi bukanlah merupakan sekte atau aliran sesat sebagaimana yang berkembang belakangan ini,
Salaf/Salafi adalah nama yang diambil dari kata salaf yang secara bahasa berarti orang-orang terdahulu, dalam istilah adalah orang-orang terdahulu yang mendahului kaum muslimin dalam Iman, Islam dst. mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka,
Penamaan salafi ini bukanlah penamaan yang baru saja muncul, namun sejak dahulu ada,
Dakwah salaf adalah ajakan untuk memurnikan agama Islam dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan pemahaman para sahabat Radhiallahu’anhum.

b) Kedua, nasehat dan tausiah kepada masyarakat:
Hendaknya masyarakat tidak mudah melontarkan kata sesat kepada suatu dakwah tanpa di klarifikasi terlebih dahulu,
Hendaknya masyarakat tidak terprovokasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab,
Kepada para da’i, ustadz, tokoh agama serta tokoh masyarakat hendaknya dapat menenangkan serta memberikan penjelasan yang objektif tentang masalah ini kepada masyarakat,
Hendaknya masyarakat tidak bertindak anarkis dan main hakim sendiri, sebagaimana terjadi di beberapa daerah.

(Surat edaran MUI, “Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta Utara tentang Salaf/Salafi”, 8 April 2009, file ada pada redaksi)

Nasihat Untuk Ummat

Terakhir, agama adalah nasehat. Maka penulis menasehati diri sendiri dan kaum muslimin sekalian untuk menjadi Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi seorang Salafi adalah dengan menjalankan Islam sesuai dengan apa yang telah dituntunkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan dipahami oleh generasi Salafus Shalih. Dan wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk ber-Islam dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semua diampuni oleh Allah. Wajib mengikuti metode beragama para sahabat, perkataan mereka dan aqidah mereka sebenar-benarnya” (I’lamul muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun Salafiyyan ‘Alal Jaddah, Abdussalam Bin Salim As Suhaimi)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat. [Yulian Purnama]
Bom Bunuh Diri Jihad? 
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah “Ashabul Ukhdud” (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, ‘bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu” [1] Syaikhul [...] 

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Syaikh rahimahullah berkata tatkala menerangkan hadist tentang kisah “Ashabul Ukhdud” (orang-orang yang membuat parit), ketika menyebutkan faidah-faidah yang terdapat dalam kisah tersebut, ‘bahwasanya seseorang dibenaran mengorbankan dirinya untuk kepentingan otang banyak, karena pemuda ini memberitahukan kepada raja cara membunuhnya yaitu dengan mengambil anak panah milik pemuda itu” [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : ‘Karena hal ini merupakan jihad fi sabilillah, yang menyebabkan orang banyak beriman, sedangkan pemuda tadi tidak rugi karena ia telah mati, dan memang ia akan mati cepat atau lambat”

Adapun perbuatan sebagian orang yang mengorbankan diri, dengan jalan membawa bom kemudian ia datang kepada kaum kuffar lalu meledakkannya merupakan bentuk bunuh diri -semoga Allah melindungi kita-. Barangsiapa yang melakukan bunuh diri maka ia kekal di Neraka Jahannam selamanya seperti telah disinyalir oleh sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2], karena orang tersebut melakukan bunuh diri bukan untuk kemaslahatan agama Islam. Sebab jika ia membunuh dirinya serta membunuh sepuluh, seratus atau dua ratus orang, hal itu tidak mendatangkan manfaat bagi Islam dan tidak ada orang yang mau masuk Islam, berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan boleh jadi hal ini akan memunculkan kemarahan di hati para musuh sehingga mereka membinasakan kaum muslimin dengan sekuat tenaga.

Contohnya apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Jika di antara penduduk Palestina satu orang yang mengorbankan diri dan ia bisa membunuh enam, atau tujuh orang, maka orang-orang Yahudi akan membalasnya dengan memakan korban enam puluh orang atau lebih. Hal tersebut tidaklah memberikan manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak pula orang yang melakukannya.

Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengorbankan dirinya termasuk perbuatan bunuh diri yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan menyebabkan pelakunya masuk ke dalam neraka -semoga Allah melindungi kita-. Pelakunya pun tidak dikataeorikan sebagai syahid. Akan tetapi jika pelakunya beranggapan bahwasanya hal itu dbenarkan, maka kami berharap mudah-mudahan ia terbebas dari dosa, tetapi tetap saja tidak dikatagorikan sebagai syahid, karena ia tidak menempuh jalan orang yang syahid. Dan barangsiapa yang berijtihad lalu ia salah maka baginya satu pahala [3].

Pertanyaan.
Bagaimana dengan hukuman syar’i terhadap orang yang membawa bom di tubuhnya kemudian meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir dengan maksud untuk menghancurkan mereka ? Apakah bisa dibenarkan beralasan dengan kisah pemuda yang memerintahkan raja untuk membunuh dirinya ?

Jawaban.
Orang yang meletakkan bom di badannya lalu meledakkan dirinya di kerumunan musuh merupakan suatu bentuk bunuh diri dan ia akan disiksa di Neraka Jahannam selamanya, disebabkan perbuatan tersebut, sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang membunuh dirinya dengan sesuatu ia akan disiksa karenanya di Neraka Jahannam.

Sungguh aneh orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sedangkan mereka membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh diri ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisa' : 29]

Akan tetapi mereka tetap saja melakukannya, apakah mereka mendapatkan sesuatu ? Apakah musuh telah kalah ? Ataukah sebaliknya, mereka semakin keras terhadap orang-orang yang melakukan pebuatan ini, seperti yang sedang terjadi di negeri Yahudi, di mana perbuatan-perbuatan tersebut menjadikan mereka semakin sombong bahkan kami menemukan data bahwasanya Negara Yahudi pada pertemuan terakhir golongan kanan menang yaitu mereka yang ingin menguasai bangsa arab.

Akan tetapi orang yang berbuat seperti ini yang beranggapan bahwa ini adalah perngorbanan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala kami mohon kepada Allah agar ia tidak disiksa karena telah menakwilkan dengan takwil yang salah.

Adapun beralasan dengan kisah pemuda tadi, maka perbuatan pemuda tersebut menjadikan orang masuk Islam bukannya menghancurkan musuh. Oleh karena itu, ketika raja mengumpulkan orang banyak lalu ia mengambil anak panah dari tempat pemuda itu seraya berkata : Dengan nama Allah tuhan pemuda ini, orang-orang pun berteriak : Tuhan adalah Tuhannya pemuda ini, sehingga menghasilkan ke-Islaman orang banyak. Apabila terjadi seperti kisah pemuda ini maka bolehlah beralasan dengan kisah tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepada kita agar diambil sebagai pelajaran. Akan tetapi orang-orang yang beranggapan bahwasanya boleh membunuh diri mereka jika mampu membunuh sepuluh atau seratus dari pihak musuh, hal itu hanyalah menimbulkan kemarahan dalam diri musuh serta mereka semakin berpegang dengan keyakinan mereka.

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia] sumber : almanhaj.or.id
_________
Foote Note
[1] Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Muslim di kitab Az-Zuhud wa Ar-Raqaiq, bab : Kisah Ashabul Ukhdud’ hadits no. 3005
[2] Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thib bab : Larangan minum racun dan berobat dengannya serta perkara-perkara yang dikhawaatirkan timbul darinya, hadits no. 5778
[3] Syarah Riyadush Shalihin 1/165-166





HUKUM PEMBOMAN DI NEGARA-NEGARA ISLAM DAN SEKITARNYA, APAKAH TERMASUK JIHAD FI SABILILLAH ?

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dita : “Ahsanaallahu ilaikum” –semoga Allah menganugrahkan kebaikan kpd anda- apakah melakukan pembunuhan dan pemboman terhadap gedung-gedung milik negara/pemerintah di negara-negara kafir mrpk hal darurat dan bentuk jihad ?

Jawaban.
Pembunuhan dan pemboman mrpk hal yg tdk boleh, krn akan menimbulkan kejahatan, pembunuhan dan terjadi pengusiran kaum muslimin, adapaun yg disyariatkan terhadap orang-orang kafir yaitu berperang fi sabilillah, menghadapi mereka dalam peperangan jika kaum muslimin memiliki persiapan pasukan, berperang dgn kaum kuffar, membunuh mereka seperti apa yg telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berhijrah ke Madinah, hingga beliau mendptkan penolong dan penyokong, adapun pemboman dan pembunuhan ha akan mendatangkan keburukan bagi kaum muslimin.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di Makkah sebelum hijrah, beliau diperintahkan agar menahan diri dari memerangi kaum kuffar.

“Arti : Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yg dikatakan kpd mereka : ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang). Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat” [An-Nisa’ : 77]

Beliau diperintahkan untuk menahan diri dari memerangi kaum kuffar krn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk memiliki kekuatan untuk memerangi mereka, kalau kaum muslimin membunuh salah seorang dari kaum kuffar maka kaum kuffar yg lain akan menghabisi mereka krn kaum kuffar lebih kuat dari kaum muslimin dan kaum muslimin di bawah kekuasaan dan tekanan kaum kuffar.

Maka pembunuhan yg mengakibatkan terbunuh kaum muslimin yg bermukim di negara tempat mereka tinggal seperti yg terjadi sekarang bukanlah mrpk bentuk dakwah dan bukanlah sesuatu bentuk jihad fi sabilillah dan begitu juga pemboman ataupun pengrusakan. Hal ini ha akan mendatangkan keburukan bagi kaum muslimin sebagaimana yg terjadi sekarang.

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah dan ketika itu beliau memiliki pasukan dan kekuatan maka pada saat itu beliau diperintahkan untuk memerangi kaum kuffar. Tetapi apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau pada saat di Makkah sebelum hijrah melakukan peruntukan seperti ini (pembunuhan dan pengrusakan) ? Bahkan mereka menahan diri dari hal itu.

Apakah mereka melakukan pengrusakan terhadap harta kaum kuffar ketika mereka masih di Makkah ? Bahkan mereka menahan diri dari yg demikian.

Mereka ha diperintahkan untuk berdakwah dan menyampaikan risalah pada saat di Makkah, tetapi ketika mereka telah berada di Madinah maka mereka berjihad dan berpegang teguh pada saat negara Islam telah berdiri.

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1386&bagian=0



Akal dan Agama Mana Yang Mengatakan “Ngebom” Itu Jihad?
Diposting oleh admin ⋅ 30 July 2009 ⋅ Kirim buletin ini ⋅ Cetak buletin ini ⋅ Kirim komentar 

At Tauhid edisi V/31

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Beberapa tahun yang silam pernah terjadi pengeboman dan perusakan di kota Riyadh, saat itulah Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr angkat suara, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama. Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad[?]”

Hal yang sama terjadi di tengah-tengah kita beberapa waktu yang lalu. Akibat bom yang diduga bom bunuh diri, akhirnya meluluhlantakkan dua buah hotel yang dihuni oleh non muslim, namun tidak sedikit pula orang muslim yang jadi korban. Pada tulisan yang singkat ini, kami akan membuktikan apakah betul ngebom atau bom bunuh diri semacam itu bisa termasuk jihad. Padahal di dalamnya terdapat beberapa pelanggaran dilihat dari dalil syar’i yaitu membunuh sesama muslim, melakukan bunuh diri dan juga membunuh orang kafir yang melakukan perjanjian dengan kaum muslimin. Silakan simak tulisan selanjutnya.

Beratnya Hukuman Pembunuhan Menurut Syariat Sebelum Islam

Allah Ta’ala berfirman mengenai kedua anak Adam yang saling membunuh (yang artinya), “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (QS. Al Maidah: 30)

Begitu pula hukuman keras bagi Bani Israel yang membunuh seorang manusia, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32)

Membunuh Seorang Muslim Tanpa Melalui Jalan yang Benar

Membunuh seorang muslim adakalanya dengan cara yang dibenarkan dan adakalanya tidak demikian. Membunuh dengan cara yang dibenarkan adalah jika pembunuhan tersebut melalui qishash atau hukuman had. Sedangkan membunuh tidak dengan cara yang benar bisa saja secara sengaja atau pun tidak.

Mengenai pembunuhan dengan cara sengaja, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An Nisa’: 93)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya penduduk langit dan bumi bersekongkol untuk membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR. At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2442, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)

Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu dia bergembira dengan pembunuhan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan sunnah juga amalan wajibnya.” (HR. Abu Daud. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2450, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 6/252)

Adapun untuk pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allah telah memerintahkan untuk membayar diat dan kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’: 92)

Mengenai Seorang Muslim yang Bunuh Diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29-30)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari no. 1365)

Hukum Membunuh Orang Kafir 

Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:
Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin).
Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati).
Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin).

Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi. Berikut kami tunjukkan beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.

[Larangan Membunuh Kafir Dzimmi yang Telah Menunaikan Jizyah]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Larangan Membunuh Kafir Mu’ahad yang Telah Membuat Kesepakatan untuk Tidak Berperang]

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

[Larangan Membunuh Kafir Musta’man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun) ”. (HR. Bukhari dan Muslim)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminan keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)

Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak sengaja, Allah Ta’ala telah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’: 92)

Setelah kita melihat pembahasan di atas, pantaskah kita mengatakan bahwa perbuatan ngebom atau bom bunuh diri, lalu yang menjadi korban adalah saudara sesama muslim atau orang non muslim yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, apakah ini semua dapat disebut JIHAD[?] Semoga Allah selalu member taufik dan hidayah kepada kita semua untuk memahami agama ini dengan benar dan semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. [Muhammad Abduh Tuasikal]
At Tauhid edisi V/39

Oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz1

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du:

[Gempa Bumi, Di Antara Tanda Kekuasaan Allah]2

Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua yang dilaksanakan dan ditetapkan. Sebagaimana juga Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua syari’at dan semua yang diperintahkan. Allah menciptakan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Dia pun menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Dengan tanda-tanda tersebut, Allah mengingatkan kewajiban hamba-hamba-Nya, yang menjadi hak Allah ‘azza wa Jalla. Hal ini untuk mengingatkan para hamba dari perbuatan syirik dan melanggar perintah serta melakukan yang dilarang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (QS. Al-Israa: 59). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Fushilat: 53). Allah Ta’ala pun berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Wahai Muhammad): “Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain” (QS. Al-An’am: 65)

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala turun firman Allah Ta’ala dalam surat Al An’am [Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: “Aku berlindung dengan wajah-Mu”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan (membaca) [atau dari bawah kaki kalian], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a lagi, “Aku berlindung dengan wajah-Mu.”3

Diriwayatkan oleh Abu Syaikh Al Ash-bahani, dari Mujahid tentang tafsir surat Al An’am ayat 65 [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah halilintar, hujan batu dan angin topan. Sedangkan firman Allah[أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ] yang dimaksudkan adalah gempa dan tanah longsor.

Jelaslah, bahwa musibah-musibah yang terjadi pada masa-masa ini di berbagai tempat termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah guna menakut-nakuti para hamba-Nya.

[Musibah Datang Dikarenakan Kesyirikan dan Maksiat yang Diperbuat]

(Perlu diketahui), semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30)

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)

Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu (yang artinya), “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]

Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) (yang artinya), “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al-Maidah: 66). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 97-99)

[Perkataan Para Salaf Ketika Terjadi Gempa]

Al ‘Allaamah Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, ”Pada sebagian waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan izin kepada bumi untuk bernafas, lalu terjadilah gempa yang dahsyat. Akhirnya, muncullah rasa takut yang mencekam pada hamba-hamba Allah. Ini semua sebagai peringatan agar mereka bersegera bertaubat, berhenti dari berbuat maksiat, tunduk kepada Allah dan menyesal atas dosa-dosa yang selama ini diperbuat. Sebagian salaf mengatakan ketika terjadi goncangan yang dahsyat, ”Sesungguhnya Allah mencela kalian”. ‘Umar bin Khatthab -radhiyallahu ’anhu-, pasca gempa di Madinah langsung menyampaikan khutbah dan wejangan. ‘Umar -radhiyallahu ’anhu- mengatakan, ”Jika terjadi gempa lagi, janganlah kalian tinggal di kota ini”. Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim -rahimahullah-. Para salaf memiliki perkataan yang banyak mengenai kejadian semacam ini.

[Bersegera Bertaubat dan Memohon Ampun pada Allah]

Saat terjadi gempa atau bencana lain seperti gerhana, angin ribut dan banjir, hendaklah setiap orang bersegera bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, merendahkan diri kepada-Nya dan memohon keselamatan dari-Nya, memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan pada Allah). Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana bersabda, “Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah berdzikir kepada Allah, memperbanyak do’a dan bacaan istighfar.”4

[Dianjurkan Memperbanyak Sedekah dan Menolong Fakir Miskin]

Begitu pula ketika terjadi musibah semacam itu, dianjurkan untuk menyayangi fakir miskin dan memberi sedekah kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayangilah (saudara kalian), maka kalian akan disayangi.”5

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di muka bumi, kalian pasti akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit”6 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang.”7

Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- bahwasanya saat terjadi gempa, beliau menulis surat kepada pemerintahan daerah bawahannya agar memperbanyak shadaqah.

[Yang Mesti Diperintahkan Pemimpin Kaum Muslimin kepada Rakyatnya]

Di antara sebab terselamatkan dari berbagai kejelekan adalah hendaknya pemimpin kaum muslimin bersegera memerintahkan pada rakyat bawahannya agar berpegang teguh pada kebenaran, kembali berhukum dengan syari’at Allah, juga hendaklah mereka menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijakasana” (QS. At-Taubah: 71). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3). Ayat-ayat semacam ini amatlah banyak.

[Anjuran untuk Menolong Kaum Muslimin yang Tertimpa Musibah]

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya”.8 Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda, ”Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.9 Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Hadits-hadits yang mendorong untuk menolong sesama amatlah banyak.

Hanya kepada Allah kita memohon agar memperbaiki kondisi kaum Musimin, memberikan pemahaman agama, menganugrahkan keistiqomahan dalam agama, dan segera bertaubat kepada Allah dari setiap dosa. Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa kaum Muslimin. Semoga Allah menolong dalam memperjuangkan kebenaran dan menghinakan kebathilan melalui para penguasa tersebut. Semoga Allah membimbing para penguasa tadi untuk menerapkan syari’at Allah bagi para hamba-Nya. Semoga Allah melindungi mereka dan seluruh kaum Muslimin dari berbagai cobaan dan jebakan setan. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk hal itu.

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari pembalasan. [Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal, ST]10

_____________

1 Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz lahir pada tahun 1330 H di kota Riyadh. Dulunya beliau memiliki penglihatan. Kemudian beliau tertimpa penyakit pada matanya pada tahun 1346 H dan akhirnya lemahlah penglihatannya. Pada tahun 1350 H, beliau buta total. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum baligh. Beliau sangat perhatian dengan hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Beliau pernah menjabat sebagai Mufti ‘Aam Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 27/1/1420 H pada umur 89 tahun. (Sumber: http://alifta.net/Fatawa/MoftyDetails.aspx?ID=2)

2 Yang mengalami tanda kurung semacam ini “[…]” di awal paragraf adalah tambahan judul dari penerjemah untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan

3 Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Tafsir Al Qur’an no. 4262 dan At Tirmidzi dalam Tafsir Al Qur’an no. 2991

4 Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Jumu’ah no. 999 dan Muslim dalam Al Kusuf no. 1518

5 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 6255.

6 Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1847

7 Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 5538 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1834

8 Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Mazholim dan Al Ghodhob no. 2262 dan Muslim no. 4677 dengan lafazh yang disepakati oleh keduanya

9 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr, Ad Du’aa dan At Taubah no. 4867 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1853

10 Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi’ah Li Samahah As Syaikh Ibnu Baz, 9/148-152, Mawqi’ Al Ifta’